Meniti Istiqomah Melalui Madrasah Ramadan

Kajian Ramadhan ini diasuh Univ. Darul Ulum Jombang, hari ke 26

Meniti Istiqomah Melalui Madrasah Ramadan
Abdul Natsir

Sehingga kabar tentang kemuliaan dan keistimewaan Ramadan seolah menjadi isyarat, ajakan dari Yang Maha Pengasih untuk membangun kembali optimisme dalam ketaatan dan istiqomah menjalaninya.

Dengan optimisme itulah kita memulai serta menjaga ketaatan kita. Dan juga perlu diingat bahwa optimisme tanpa sebab tercapainya hanyalah ketertipuan. Seorang yang mengharapkan rahmat dan ampunan tanpa mau melaksanakan ketaatan, bagaikan seorang petani yang menunggu panen tanpa mau menanam benih. Seorang yang menanam benih tanpa merawatnya dengan istiqomah, tidak akan mendapat hasil yang sempurna.

Mengaku butuh bersandar kepada dzat-Nya
Sehabis menyadari luasnya rahmat Allah, selanjutnya kita harus mengakui kelemahan dan kebutuhan kita untuk bersandar kepada-Nya. Setelah suasana kondusif selama Ramadan memudahkan kita untuk beristiqomah, akan datang masa-masa dengan iklim tak menentu yang terus membolak-balikkan hati. Untuk itu kita harus senantiasa memohon kepada Allah agar diberi hati yang teguh.

Seorang yang bersandar kepada Allah tidak akan sombong dan menjadi ujub ketika melaksanakan ketaatan, karena dia mengetahui bahwa semua amalnya adalah hadiah, pemberian dari Allah untuknya. Begitu pula ketika tergelincir dalam kemaksiatan, dia akan bersegera kembali kepada Allah dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya.

Perjalanan terjal bernama istiqomah terasa lebih ringan, sebab dia senantiasa ingat bahwa sangat mungkin bagi Allah untuk menjadikan maksiat yang dia bersusah payah menahan diri dari itu, adalah perjuangan terakhirnya sebelum ajal menjemput.

Begitulah seorang yang bersandar kepada dzat Yang Baqo’ maka akan lebih abadi juga ketaatannya dibandingkan mereka yang bersandar kepada amalnya sendiri yang rapuh.

Seperti halnya iblis yang sombong dan mengakui amalnya sendiri, sehingga merasa lebih mulia daripada nabi Adam, membangkang, dan akhirnya berputus asa dari rahmat Allah.

Menjaga fitrah dengan ilmu-Nya
Menurut Syekh Izzuddin bin Abdussalam dalam kitab Syajaratul Maarif, Allah memberi watak hamba-Nya untuk mengedepankan tujuan paling utama lalu yang lebih utama, mencari yang paling penting lalu yang lebih penting, dan menolak bahaya paling besar dari bahaya paling kecil. Sudah merupakan fitrah manusia untuk mendahulukan akhirat ketimbang dunia.

Maka apabila seseorang sedang terbalik orientasi hidupnya, kemungkinannya adalah dia sedang lupa atau dia memang tidak tahu. Di sinilah pentingnya untuk terus menuntut ilmu agar menjadikan kita tahu dan terus ingat.

Berdasarkan fitrah manusia yang sudah disebutkan di atas, maka seorang yang tahu (alim) dan senantiasa ingat, akan lebih mudah untuk istiqomah karena memang nalurinya berjalan pada ketaatan. Seperti kata Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya, bahwa makanan hati adalah ilmu dan hikmah, barang siapa kehilangan keduanya maka hatinya akan sakit dan segera mati.

Ilmu mawarsikan sikap, ilmu membentuk suasana hati, seorang yang senantiasa menuntut ilmu maka hatinya akan hidup. Sehingga seorang yang keaadaan batinnya dihidupkan oleh ilmunya, maka dia tidak akan terpengaruh oleh suasana atau keadaan sekitar.

Meskipun Ramadan telah berlalu hatinya tetap tahu mana tujuan yang paling utama dan lebih utama, mana yang paling penting dan lebih penting, dan mana bahaya yang paling besar dan lebih besar. Maka benar sabda nabi bahwa, “Iman seseorang tidak akan istiqomah sehingga hatinya istiqomah” (HR. Ahmad).
Wallahualam bishowab. (*)