Oleh: Abdul Natsir – Dosen Univ. Darul Ulum Jombang
“Istiqomah lebih utama daripada seribu karamah”, adalah kalam hikmah Syekh Abdul Qadir Al Jailani yang sudah sering kita dengar. Senada dengan kalam tersebut, ketika mengulas kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah, Syekh Ahmad Zarruq mengatakan bahwa istiqomah lebih utama daripada karamah karena istiqomah adalah hal yang Allah kehendaki atas diri kita, sementara karamah atau kemuliaan adalah apa yang nafsu kita kehendaki dari Allah.
Apa yang Allah kehendaki jelas lebih baik dan lebih utama daripada apa yang nafsu kita inginkan. Maka Ramadan sebagai bulan yang penuh dengan kemuliaan , menjadi saat terbaik bagi kita untuk memenuhi kehendak-Nya, melatih hawa nafsu mengejar sebaik-baik hal untuk diperjuangkan, yaitu istiqomah.
Kata istiqomah disebutkan dalam Al-Qur’an menggunakan fi’il amar (QS. Hud: 12 dan Asy-Syura: 15), sebagai perintah, yang berarti pelaksanaannya bukanlah sebuah anjuran melainkan suatu kewajiban. Padahal telah menjadi pengetahuan umum bagi kita bahwa menjalankannya bukanlah perkara yang mudah.
Bahkan nabi dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ketika menyeru untuk istiqomah beliau bersabda, “istiqomahlah dan (namun) kalian tidak akan mampu (dalam semua ketaatan dengan benar-benar istiqomah)”.
Selain pengalaman pribadi kita sebagai seorang abid, beratnya istiqomah juga dibuktikan dengan banyaknya kisah wali Allah serta orang-orang salih yang kemudian meninggal dalam keadaan suul khatimah, juga kisahnya Harut Marut yang pada akhirnya terjerumus dalam jurang kemaksiatan.
Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa istiqomah bukanlah sifat bawaan seseorang dengan kedudukan tertentu, melainkan perjuangan terus menerus tiada akhir oleh setiap hamba.
Dalam meniti perjalanan terjal dan panjang tersebut, Ramadan dapat menjadi madrasah tempat kita belajar, melatih diri hidup dalam ketaqwaan. Bulan di mana syiar islam terus menggema dan banyak ornamen serta kegiatan di tengah masyarakat yang berorientasi pada keislaman.
Nuansa yang demikian selama sebulan penuh dapat melahirkan rasionalisasi untuk terus beribadah, menciptakan kebiasaan baru yang mampu menyisihkan pandangan sekuler di tengah masyarakat, sehingga sikap istiqomah menjadi lebih mudah kita upayakan.
Sebagai seorang abid, tentu kita tidak ingin kebiasaan yang sudah dibangun justru hilang seiring dengan berakhirnya bulan Ramadan, atau bahkan sudah luntur sebelum Ramadan itu berakhir. Maka marilah kita manfaatkan Ramadan sebagai momen untuk melatih diri menjalankan laku istiqomah.
Dan berikut disampaikan setidaknya tiga hal untuk dilatih, sebagai bekal meniti perjalanan menjadi pribadi yang istiqomah baik saat maupun setelah madrasah ini berakhir.
Melihat rahmat Allah dan berharap kepada-Nya
Mengingat dan menyadari rahmat Allah adalah modal awal seorang hamba dalam memulai perjalanan istiqomah.
Mengingat keluasan rahmat-Nya akan meningkatkan rasa harap (raja’) serta optimisme bagi seorang hamba dalam menjalankan ketaatan. Seseorang tidak akan mulai menanam padi tanpa ada rasa optimis dalam dirinya bahwa kelak akan memanen, orang yang tidak memiliki harapan terhadap sesuatu maka hatinya tidak akan pernah condong ke arah sana.
Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kita bisa dengan mudah menemukan ayat-ayat rahmat yang mengabarkan bahwa Tuhan adalah dzat yang begitu luas rahmat serta ampunan-Nya, Maha Mulia lagi Maha Memaafkan hamba-Nya. Kemudian kita dipertemukan dengan Ramadan, bulan yang penuh dengan rahmat, yang apabila disebut seluruh keistimewaannya maka akan teramat panjang artikel ini ditulis.
Meskipun sifat Arhamarrahimin-Nya Allah kekal mengikuti dzat-Nya, namun Ramadan seolah menjadi ajang bagi kita untuk memborong pahala dan ampunan, ketika seluruh pintu surga dibuka lebar dan pintu neraka ditutup rapat.