Kalau kemudian jika sakit dan meninggal saat melaksanakan rukun haji, beritanya waktu itu , sampai ke tanah masih simpang siur karena komunikasi masih sulit dan orang yang kembali dari haji juga lama. Tak heran, orang yang dulu naik haji, terkadang tidak pula lagi dan hilang begitu saja.
Oleh lantaran itulah, sebelum naik haji biasanya keluarga yang mau naik haji, pada zaman dulu melaksanakan upacara selamatan. Mereka mendoakan agar segalanya berjalan lancar dan selamat.
Maka secara sosiologis, masyarakat yang telah kembali dari menunaikan ibadah haji, diberikan penghormatan dan kedudukan yang tinggi. Mereka ditandai dengan panggilan dan sebutan “Haji.”
Nah, tradisi ini masih terus berlangsung sampai sekarang. Orang yang sudah berhasil melaksnakan rukun islam kelima, naik haji, status sosialnya diletakan pada tempat yang tinggi.
Terhormat. Manefistasinya, mereka ditandai dengan sebutan atawa panggilan “Haji.”
Dari uraian ini dapat disimpulkan beberapa hal.
Dari aspek keagamaan, ibadah haji merupakan rukun wajib islam kelima, bagi yang mampu melaksanakannya. Dari sudut ini, haji bukanlah gelar, karena memang tak ada gelar buat itu.
Bagi kalangan ini, secara normatif, haji adalah pelaksanaan ibadah rukun islam kelima dan bukan gelar bagi seseorang. Tak ada ketentuan yang mengharuskan orang telah menunaikan ibadah haji, diberi gelar “Haji” atau dipanggil “Haji,” mamang.
Apalagi pihak ini menegaskan, arti “haji” adalah orang yang menjadi tamu Allah ketika menuaikan haji. Jadi, setelah kembali ke tanah air, sudah bukan tamu Allah lagi, sehingga sebutan “Haji” tidak cocok dan tidak relevan sama sekali.
Tak heran sebagian ulaman dan kaum intelektual keberatan dan menolak adanya panggilan atau sebutan “Haji” kepada seseorang.
Sebaliknya dari aspek sosiologis, dari sudut pandang kebudayaan, penyebutan “Haji,” sudah berjalan lama. Penyebutan gelar “Haji” yang sempat merujuk kepada kaum nasionalisne radikal, telah berubah menjadi sebuah penghargaaan. Sebutan atau panggilan “Haji “ merupakan suatu kehormatan.
Secara sosial dahulu begitu sulitnya menunaikan ibadah haji. Penuh perjuangan dan bahaya serta memerlukan ketabahan luar biasa. Pada saat ini pun naik haji bagi sebagia rakyat sahaya atau para kawula tetap bukan perkara mudah. Selain membutuhkan biaya yang tak sedikit dalam ukuran masyarakat kebanyakan Indoensia, juga masih harus antri panjang bertahun-tahun
Berdasarkan hal itu, penghargaan terhadap orang yang akhirnya berhasil naik haji, sangat beralasan. Meletakan orang yang telah menunaikan ibadah haji dalam tempat terhormat, sama sekali tidak salah.
Dengan demikian, dari sudut ini, panggilan atau penyebutan “Haji” atau “Pak Haji” (untuk perempuan menjadi “hajjah”) memiliki dasar sejarah dan alas pembenar yang kuat. Ini penghormatan terhadap perjuangan terhadap seorang umat islam yang telah berhasil menunaikan rukun islam kelima dengan selamat. Lantas apa salahnya jika kepada mereka diberikan panggilan atau sebutan kehormatan “Haji” atau “Hajjah?” Tak ada yang salah.
Dalam konteks penyebutan dan panggilan “Haji” makna kata “Haji” secara sosiologis sudah mengalami penambahan atau pergeseran dalam kebudayaan Indonesia. Kata “haji” tak lagi semata-mata bermakna hariah, melainkan juga sudah menjelma menjadi bagian dari penghormatan masyarakat kepada orang yang berhasil menunaikan rukun islam kelima.
Kalau begitu mana yang benar dong? Hamba berpendapat, dua-duanya benar. Dari tinjauan perpektif agama memang tak ada dasar penyebutan dan panggilan “haji,” meskipun tak ada puoabkarangan penyebutan dan panggilan “Haji.”
Dari tinjauah sosiologis dan kebudayaan, sebutan atau panggilan penghormatan “Haji” merupakan hal yang wajar. Dan yang terpenting penghormatan panggilan dan penyebutan itu tidak bertentangan dengan aqidah agama islam. Sebutan dan panggilan itu tidak mengandung kontrakai dengan ajaran islam. Dia tidak mesekutukan Allah, bahkan menghormati Allah melalui penghormatan terhadap sesama hamba Allah yangbsudah berhasil menunaikan ajaran Allah, rukun Islam kelima.
Islam agama sangat demokratis. Para pihak yang pro kontra terkait soal ini, silakan menjalankan pendpatnya masing-masing. Bagi yang tidak setuju dan keberatan terhadap sebutan dan panggilan “Haji” di masyarakat, tentu boleh menyatakan menolak terhadap sebutan dan pengilan itu.
Sebaliknya bagi mereka yang masih merasa perlu dengan simbol-simbol penyebutan dan pangilan kehormatan “Haji” dalam kehidupan dan penghidupan keseharian, juga dipersilakan melanjutkan.
Adapun yang tidak boleh adalah, saling mengujat. Saling menghina. Merasa paling benar sendiri. Merasa pemegang otoritas tunggal dalam menafairkan agama di masyarakat, sedangkan yang lain tidak berhak, salah dan haram hukumnya.
T a b i k. (*) Bersambung…..
WINA ARMADA SUKARDI, wartawan dan advokat senior dan Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi.