Dilema Sedekah Kepada Pengemis

Sketsa Serba-Serbi Sholat Suhuh (21)

Dilema Sedekah Kepada Pengemis
Wina Armada Sukardi

Padahal, sekali lagi, semua itu cuma sandiwara. Kaki dan tanganya aslinya tidak buntung sama sekali, tapi “disulap” dengan tipuan sedemikian rupa, seakan-akan memang benar buntung. Misal dilipat dengan celana berkapis-lapis sedemikian rupa, dan up, kelihatan satu kaki hilang.
Tentu mereka tak ketinggalan belajar “akting.”

Para pengemis ini “berakting” ngesot layaknya disablitas. Mereka juga belajar memakai tongkat untuk berjalan. Dan aktingnya memang menyakinkan, sehingga hati masyarakat banyak yang tersentuh dan memberika uang.

Tidak boleh dilupakan, niat memberikan bantuan juga sering kali membahayakan diri kita sendiri. Pernah suatu ketika, sepulang dari pertemuan acara keluarga di rumah seorang kakak, hamba pulang malam bersama isteri naik mobil. Waktu itu sekitar jam 23.30. Kebetulan yang menyetir mobil isteri hamba.

Sedangkan hamba sendiri duduk di kursi sebelah. Senderan kursinya hamba kebelangkangkan, sehingga dapat dipakai rebahan. Dari luar, seakan-akan dalam mobil cuma ada isteri hamba saja.

Sesampai di lampu merah CSW, dari arah Jakan Wolter Mongunsidu- Trunojoyo, menju ke arah RSP, pas di lampu merah dan mobil berhenti, ada seorang pengemis ngesot karena kakinya “buntung.” Dia mendekati mobil kami. Begitu sampai di samping mobil kami, dia berdiri. Isteri dan hamba yang dari tadi memperhatikan ya terkejut bukan alang kepalang.

Nampaknya si pengemis gadungan itu siap-siap bakal melakukan kejahatan kepada isteri hamba. Dia pikir, perempuan malem-malem, menyetir sendiri, menjadi makanan empuk.

Begitu hamba menegakkan sandaran kursi, dan terlihat olehnya, balik dia yang sangat terkejut bukan alang kepalang. Dia tidak menduga di dalam mobil juga ada lelaki. Tanpa banyak cingcong dia mabur. Dia lupa kakinya tadinya “buntung.”
Penipuan tak hanya dengan cara mengemis. Sering pula nemakai istitusi sosial seperti yayasan untuk anak yatim atau buat pembangunan mesjid.

Banyak “kotak amal” dari berbagai yayasan, ternyata hasilnya bukan dipakai untuk tujuan membantu kaum duhafa atau membangun mesjid dan lain-lain, melainkan diambil untuk kepentingan pribadi. Yayasan-yayasan yang disebut sering cuma kedok, bahkan yayasannya tak ada.

Terakhir orang memanfaatkan ketaat beragama dengan mengikuti perkembangan teknologi. Kiwari kita kalau mau mendonasikan uang kita cukup lewat proses QR dari HP. Praktis.

Eh, belakangan, QR pun dipalsukan. Di mesjid-mesjid (antara kain mesjid Istiqal dan mesjid di Blok M), terminal, bandara dan tempat-tempat umum lain sudah terbukti terpasang QR palsu, QR yang duitnya masuk ke dompet digital pribadi para penipunya.
Ajaran agama untuk memberikan bantuan kepada anak yatim dan faKir miskin, kini menjadi tak sederhana lagi. Niat baik dalam diri kita, belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik sesuai keinginan kita, bahkan sebaliknya malah dapat membantu kaum komplotan yang memanipulasi para pengemis palsu.

Sebagian dari kita mungkin ada yang perbedat, ”_Ah, yang penting niat kita baik, selebihnya kalau mereka jahat, itu tanggung jawab mereka masing-masing. dengan Tuhan._”
Sikap ini secara tidak langsung telah membantu kebohongan, dan tentu yang membantu kebohongan tidak dapat dikatakan lagi berniat baik serta harus mempertanggungjawkan perbuatannya. Selain itu bukankah antara kebaikan dan kebodohan sebenarnya berbeda jauh, baik niat maupun dampaknya.

Barangkali kita perlu memikirkan andau nngin menolong atau berardekah kepada para pengemis, di tempat-tempat umum, lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya? Kalau memberi bantuan sembarangan kepada para pengemis di jalan, jelas lebih banyak mudaratnya. Pertama, tujuan membantu kaum miskin tidak tercapai. Kedua, kita membantu kelompok mafia pengemis. Ketiga, dapat membahayakan diri kita sendiri.

Disinilah ada baiknya kita memberikan bantuan, sedokah, amal jariah, apapun namanya, kepada lembaga-lembaga resmi yang sudah jelas kridibilitas dan keberadaanya. Jika tidak langsung saja berikan kepada yang kita tahu benar-benar memang membutuhkan.

Menghadapi hal seperti ini kotib sholat subuh mengingatkan,”Kalau pun kita tidak mau memberikan bantuan, kita sebaiknya diam saja. Tak usah mengumpat mereka.”

Kita tidak boleh menyuburkan kemalasan dengan memberikan bantuan yang salah arah. Selain itu, bukankah dalam islam tangan di atas lebih baik ketimbang tangan di bawah? T a b i k. (*) Bersambung…

WINA ARMADA SUKARDI, Wartawan dan Advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi.