Tadarus Ramadhan : Meneropong Kejayaan Peradaban Islam

Kajian Ramadhan ini diasuh Univ. Darul Ulum Jombang, hari ke 20

Tadarus Ramadhan : Meneropong Kejayaan Peradaban Islam
Muhammad Najihul Huda

Pada tragedi ini terjadi pembantaian besar-besaran dan juga penghancuran Baitul Hikmah. Buku-buku yang ada didalamnya dibakar, ditenggelamkan ke sungai sehingga arsip keilmuan yang dimiliki oleh umat islam menjadi hilang.

Terjadinya peristiwa pembakaran kitab umat muslim, menjadikan kemandekan bidang ilmu pengetahuan. Umat islam juga terpengaruh dan hanyut dalam pembincangan teori-teori filsafat, sehingga terjadi pergolakan pemikiran.

Dalam situasi ini muncullah Imam Al-Ghazali yang dikenal dengan hujjatul islam. Beliau mendapatkan gelar tersebut karena kecerdasannya memberikan hujjah melalui dalil aqli dan naqli. Di era ini muncullah fase ketenaran ilmu tasawuf.

Sejarah telah mencatat bahwa umat islam memiliki masa keemasan dibidang ilmu pengetahuan. Hal ini sejatinya menjadi dorongan semangat bagi santri generasi masa kini untuk kembali menghidupkan kejayaan islam.

Tentunya dengan melakukan langkah-langkah pendidikan untuk menggali ilmu pengetahuan. Dipondok pesantren yang merupakan pusat ilmu pengetahuan, pastinya banyak kitab ataupun buku yang bisa dijadikan bahan bacaan dan kajian untuk menambah wawasan. Terlebih dengan peran Kiyai yang pastinya cinta dan senang dengan urusan keilmuan selayaknya bisa kembali membangkitkan masa kejayaan islam lagi.

Menelisik perkembangan keilmuan di Indonesia, selayaknya bisa membincangkan seorang tokoh DR. KH. Musta’in Romly. Dalam kapasitasnya sebagai seorang Mursyid Thariqah yang membimbing para salik mencapai tingkatan keagamaan. Serta pimpinan pondok pesantren Darul ‘Ulum dan Rektor Undar Jombang yang berkaitan dengan akademik santri.

Beliau mampu mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan munculnya jargon Undar “Berotak London, Berhati Masjidil Haram”.

Yai Musta’in menginginkan santri lulusan Darul ‘Ulum khususnya, bisa berperan bagi bangsa dan negara. Santri yang diidentikkan hanya mampu mengaji dan mengurusi orang meninggal. Dicetak agar juga bisa berperan dalam konteks yang lebih global dengan bisa mengisi pos-pos penting dalam pemerintahan. Hal ini semata-mata syiar dakwah menjaga eksistensi peradaban islam…(Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Darul Ulum Jombang)