Humor di Ceramah Mesjid (17)

Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (17)

Humor di Ceramah Mesjid (17)
Wina Armada Sukardi

Salah satu AC di mesjid tempat kami sholat subuh memang terpasang di dinding di belakang mimbar atau dengan kata lain, letaknya tepat di belakang penceramah. Rupanya dia kedinginan, tapi tak ada yang mengetahuinya.
Jadi , waktu dia tiba-tiba bilang kedinginan, jemaah agak terkejut dan terasa lucu.

Ikwal ada unsur humor dalam kotbah di mesjid, hamba ingat saat masih kuliah di fakultas hukum UI di Rawamangun. Sekarang kampusnya sudah dipakai oleh UNJ. Waktu itu kalo sholat Jumat, para mahasiswa sholat di mesjid dekat asrana Daksinapati itu.

Di mesjid itu para penceramah sholat jumat kalau sedang kotbah sangat sering mengemukan materinya dengan humor. Ini dilakukan untuk mengeritik pemerintah Orde Baru waktu itu.

Rezim di bawah pimpinan Pak Harto pemerintahnya sanga represif. Untuk mengeritiknya harus berhati-hati, termasuk di lembaga keagamaan. Humor menjadi salah sarana untuk dapat masuk memgeritik pemerintah. Kalau tidak lewat cara humor, lelucon atau tawa mungkin para khotib waktu itu sudah masuk _black list_ atau daftar hitam pemerintah. Konsukuensinya bisa dihukum atau bahkan “dihilangkan.” Tetapi melalui humor mereka tidak dianggap menghina pemerintah, tapi pesan agamaya tetap tersampaikan.

Secara teoritus humor tidak sekedar menghasilkan tawa belaka. Humor atau kelucon berdasarkan teori-teori psikologi diinilai sebagai fenomena sosial. Dalam hal ini, tawa membawa pesan, mengampaikan misi. Di balik tawa, ada sesuatu yang ingin disampaikan dan dapat sampai pada taraf untuk mempengaruhi. Dengan begitu humor tidak sekedar menghasilkan tawa.

Dalam bukunya “_Sense of Humor and Dimention of Personlity,_” Lefcourt dan Martin (Woshington : 1993) sudah menegaskankan, tertawa tidak selalu dipicu rasa lucu. Sebaliknya tragedi dapat menghasilkan senyum dan tawa.

Rasa lucu, kata psikopog Elizabeth E. Hurlock, dapat mengubah persepsi kita mengenai sesuatu hal. Sedangkan menurut John Sorey dalam bukunya “_Cultural Studies and The Stydt of Populer Culture: Theoriea and Method,_” jelas ada makna di balik kelucuan
Lebih jauh lagi, Arhur Koestler setelah melalukan penelitian panjang, dalam bukunha “_The Art of Creation_” yang terbit tahub 1989 menyimpulkan, lelucon adalah proses intelektual.
Maka kehadiran humor pastilah memiliki alasan yang kuat. Sementara bagi Arthur Koestler humor bukan untuk merendahkan manusia, tetapi sebalinya untuk mengangkat harkat martabat manusia.

Para penceramah atau khotib mungkin tidak membaca teori-teori humor atau lecucon yang berasal dari barat tersebut, namun beberapa dari mereka telah mmenerapkannnya secara intinktif.

Lewat humor atau lelucon yang mereka selipkan di antara ceramah atau kotbah mereka, merupakan bagian dari dakwah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para pendengarnya. Di balik tawa mereka memberikan pesan dan misinya untuk menyakinkan , Allah Maha Kuasa. T a b i k (*) Bersambung…..

WINA ARMADA SUKARDI, wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/ opini pribadi.