Di rumah induk itulah, TWH menjalani hari-hari sibuk sebagai insan pers pensiunan.TWH yang tidak lagi aktif bekerja di Mimbar Umum meneruskan hidupnya dengan terus menulis. Secara rutin, misalnya di koran ‘Waspada’ dan juga ‘Mimbar Umum’.
Sekitar lima tahun silam, rumah induknya menjadi terasa sepi, karena Sang Isteri tercinta berpulang ke rahmatullah. Untuk tetap bisa punya kesibukan, atas persetujuan semua anak/mantu dan cucunya, rumah induk itu akhirnya dijadikan perpustakaan umum, mengikuti kemauan TWH.
” Kami semua yang menyusun pemasangan foto-foto, buku-buku dan dokumentasi sesuai permintaan kakek, ” cerita Mufti TWH, salah satu cucu TWH.
Bersama abangnya Faathir TWH, dua cucu itulah yang sehari-hari terus mendampingi Sang Kakek TWH menjadi tuan rumah Museum Pers Sumut.
Ruang perpustakaan Museum Pers itu dibagi dua bagian. Ruang utama lebih lapang. Di situ dipasang berjejer foto-foto para tokoh pers nasional dan tokoh pers Sumut. Ada rak-rak berisi buku- buku dan copy arsip.
Di bagian lain, di sebuah kamar yang lebih kecil, terpampang foto para tokoh pers, foto tokoh asing terkenal lainnya dan copy koran-koran kuno. Di antaranya koran-koran berbahasa Belanda.
Misalnya, copy halaman depan koran Belanda yang pertama kali terbit di Medan pada tahun 1885. ‘Deli Courant’, namanya. Bersama halaman koran itu ikut dipajang foto direktur atau pemimpin redaksinya: Jacques Deen.
Selain ‘Deli Courant’, ada juga copy surat kabar Belanda lainnya. Yakni, koran Belanda yang pertama kali terbit di Indonesia (Jakarta) pada 8 Agustus tahun 1744: ‘Bataviasche Nouvelle’. Koran ini organ resmi kolonial Belanda atas nama VOC (Vereenigde Oost Compagnie).
Pelbagai koleksi surat kabar kuno lainnya juga dipajang di kamar itu bersama foto para tokoh pers lainnya. Di ruang ini juga ada satu rak berisi 27 buku tulisan TWH.
Selain itu, di ruang tengah nampak dipajang foto para gubernur Sumatera Utara. Sejak gubernur pertama: Sutan Muhamad Amin Nasution (1 Juni 1948) sampai Gubsu sekarang ke-18 Letjen Edy Rahmayadi ( 5 September 2018).
Masih ada tumpukan dokumentasi yang disusun saja di meja. Mungkin karena sudah tidak ada ruang atau tempat di mana dokumentasi itu bisa dipajang.
Kondisinya memang tampak sesak. Tentu, karena pelbagai keterbatasan. Semua urusan kepustakawan terutama terkait pemeliharaan semua koleksi penting dan langka itu tampaknya masih diurus seadanya.
” Semua keperluan untuk museum pers itu masih dibiayai dengan uang pribadi Pak TWH,” kata Ronny Simon.
Hal yang agaknya perlu mendapat perhatian pihak terkait. Sebab, ini berkaitan dengan pemeliharaan dokumentasi bersejarah. Jika, tak segera diurus dan dirawat secara profesional, semua koleksi tadi bisa rusak.
Pemilik museum sendiri cukup menyadari ihwal itu. Makanya, sambil terus asyik mengurus perpustakaan museum persnya, dia tetap berharap suatu ketika akan ada Museum Pers Sumatera Utara yang lebih representatif yang dibiayai negara.
TWH sendiri meski pun selalu duduk di kursi roda, tetap saja terus hidup aktif. Membaca, menulis dan menerima tamu di perpustakaannya. Ada saja tamu, wartawan, pejabat, akademisi dan mahasiswa yang mampir ke museum persnya.
” Kebanyakan tamu adalah para mahasiswa yang mau menyusun skripsi,” tambah Ronny Simon, Ahli Pers, yang sekarang jadi wakil ketua pengelola Museum Pers Sumut.
Sejak dibuka tiga tahun lalu, tercatat sekitar 2.000 tamu sudah mampir ke museum tersebut. ” Pak Wagub Musa Rajekshah dan Walikota Medan Bobby Nasution sudah pernah berkunjung ke mari, ” tukas Ronny Simon.
Tapi, yang paling membesarkan hati TWH adalah ketika dia menerima seorang perempuan Belanda yang mau melakukan penelitian untuk disertasi doktoralnya. “Dia memberitahu saya. Bahwa dia menemukan ada 10 buku saya sekarang disimpan di perpustakaan di Universitas Leiden, Belanda,” cerita TWH.
Sebuah kredit poin lain untuk Wartawan Pejuang kita. (*)