10) Peran Ketiga, di negara berkembang peran intelektual menjadi sangat penting, dan biasanya mereka adalah kelompok muda yang belum mapan, karena dia melihat secara dalam sistem sosial politik di sekitarnya selalu timbul masalah. Dia akan menemui adagium “Power Tends to Corrupt, but Absolute Power Corrupt Absolutely..!”.
11) Ada teori evolusi kekuasaan dari pemenang nobel bidang ekonomi. Evolusi atau asal mula kekuasaan sebenarnya bermula dari sekumpulan bandit pada dulu kala. orang yang berkuasa sebelum ada sistem pemerintahan pada suatu masyarakat, yang berkuasa adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, keunggulan fisik, memiliki aneka senjata, postur tubuh kuat dan besar, punya kelompok garang, da lain-lain. Hal itu yang oleh Olson, pemenang nobel ekonomi adalah tahap Pertama dari evolusi Kekuasaan. Jadi penguasa di jaman itu adalah para bandit dan perompak, sebagai evolusi pertama kekuasaan atau dinamakan Roupin.
12) Namun di antara kelompok pengganas tersebut ada sekelompok kecil bandit yang berpikir bahwa jika seterusnya menjadi kelompok perompak, maka lama kelamaan kekerasan juga akan menimpa dirinya. Maka kemudian mereka membentuk sistem sosial yang lebih maju sebagai evolusi Kedua dari Kekuasaan yakni dengan menjalankan sistem Upeti kepada masyarakat. Mengambil upeti dan mereka tumbuh dengan menetap bercocok tanam di suatu tempat bermodalkan upeti benih padi misalnya. Disebut dengan Stationary Bandits.
13) Evolusi Kekuasaan Ketiga, baru muncu Rule of Law dengan pintu filsafat, hak asasi manusia, sistem hukum dan lain-lain. Jadilah para bandit itu bermetamorphose menjadi Negarawan karena mengikuti rule of law, peradaman modern, dan humanis. Jadi Negarawan atau politisi di dalam kekuasaan itu harus diingat asal muasalnya dari para bandit yang berevolusi. Jika dia bertindak melanggar hukum yang ada, maka negarawan itu menjadi bandit lagi. Para anggota parlemen, polisi yang melanggar hukum disebut legal bandits.
14) Para kepala desa yang menginginkan perpanjangan jabatan dan berkolusi dengan partai-partai itu juga disebut kolusi bandit. Lebih jauh jika terus saja begitu maka Indonesia tidak akan lepas dari sistem Feodal Sempurna. Kolusi itu terjadi karena tidak adanya “check and balance” dari kekuasaan dan legislatif.
15) Berkaitan dengan situasi itu, maka peran intelektual muda kritis seperti para mahasiswa menjadi sangat penting. Demo BEM kampus yang menolak perpanjangan periode jabatan para Lurah. Itu tugas para intelektual kritis kampus. Begitu juga aksi yang menolak revisi UU KPK yang hendak diubah oleh mereka yang menjalankan peran bandit politik. Tidak adanya “check and balance” di parlemen menjadi mungkin karena 82 % anggota legislatif adalah mereka yang pro kekuasaan.
16) Peran intelektual kritis di parlemen tidak ada lagi, karena semua telah terkooptasi oleh kekuasaan. Jadi sekali lagi peran intelektual kritis tidak hanya sekadar menjalankan tugas-tugas profesionalnya saja, tetapi juga dia akan mengkritisi , membela dan menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas oleh sistem kekuasaan.
17) Tetapi jika sikap kritisismenya menjadi terlalu berlebihan dengan keinginan menumpas segala apapun, maka intelektual itu akan berubah menjadi penganut Marxisme yang sangat radikal dan berbahaya. Seperti yang terjadi di Kamboja semasa rezim Pol Pot.
17) Keempat, adalah peran intelektual kritis yang juga pemikir. Dia akan berjuang selain dengan daya kritisismenya ditambah dengan kemampuan pemikirannya akan selalu menyumbangkan gagasan-gagasan penting yang dipersembahkan bagi kebaikan bangsanya. Cak Nurcholish Madjid adalah typology ideal dari intelektual tipe Keempat dengan gagasan Islam, Keindonesiaan dan Kemodernan.
18) Jadi peranan intelektual muda seperti mahasiswa sekarang adalah bertanggungjawab dalam menyuarakan kebenaran.(*)