Saat ledakan korban Covid-19, rumah sakit sangat kewalahan, tenaga medis, fasilitas kesehatan dan alat medis banyak alami kekurangan. Selain itu ternyata industri alat kesehatan kita masih didominasi produk impor. Di sisi lain, karya-karya anak bangsa yang memproduksi alat pendukung medis belum diakui negara. Dari ventilator sampai vaksin Merah Putih dan Vaksin Nusantara,” lanjutnya.
Dalam pidatonya, Prof. Dr. Mulyadi, dr. Sp.P(K), FISR menyampaikan tantangan pendidikan dokter dan Rumah Sakit pendidikan dalam menghadapi kondisi pandemi Covid-19.
Menurutnya dampak pandemi Covid bagi dunia akademik kedokteran menjadi sebuah mimpi buruk. Karena begitu pentingnya praktek langsung dalam pendidikan kedokteran, namun akibat pandemi hal itu tidak terealisasi oleh adanya batasan-batasan.
“Padahal untuk menghasilkan gladiator atau petarung-petarung yang terjun ke medan perang perlu praktek dan belajar secara langsung. Tidak ada guru yang lebih baik tanpa secara langsung menangani pasien. Makanya pendidikan kedokteran secara online adalah tidak mungkin. Tapi di kondisi pandemi ini menjadi dilema. Untunglah saat ini sudah sudah bisa dilakukan pelajaran secara langsung meski terbatas,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Prof Mulyadi juga berterima kasih kepada LaNyalla yang selalu memberi semangat. Selalu mengingatkan untuk sholat tahajud dan Dhuha. Serta mengingatkan pentingnya ikhtiar dan doa.
“Saya juga mengingat orang tua Pak LaNyalla, Bapak Mahmud Mattalitti. Tahun 1981 saat saya datang pertama kali ke Surabaya, kuliah di Unair, saya bertemu beliau. Saya sebagai anak dari desa terpencil di Aceh Selatan diberi nasehat yang membuat saya kuat dan berdiri sampai sekarang. Beliau mengatakan laki-laki tidak boleh takut, harus jadi pemberani dan tidak boleh ragu-ragu. Itu sebagai modal untuk keberhasilan nanti. Dan benar apa yang dikatakan tersebut. Terbukti saya bisa mencapai posisi seperti sekarang. Alhamdulillah,” ujar Prof Mulyadi.(*)