“Jadi kenapa ini (kasus) bisa landai, karena kami mencoba untuk melakukan pemutusan mata rantai di awal (hulu). Karena sebanyak apapun hilir ketika luapan dari hulu banyak, maka akan jebol juga. Karena itulah ditampung di rumah sehat atau di HAH,” ungkap dia.
Febri mengungkapkan, per tanggal 9 Agustus 2021, ada sebanyak 2.090 warga di Surabaya yang melakukan isolasi mandiri. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.696 warga dapat dimediasi ke rumah sehat untuk isolasi terpadu (isoter).
“Satgas dari pemkot kemudian dibantu TNI POLRI juga kemampuan dari Pak Camat dan Lurah itu berhasil melakukan mediasi kepada 1.696 orang dari total 2.090 (isoman) untuk bisa dilakukan isolasi terpadu,” jelasnya.
Sedangkan untuk sisanya, mereka melakukan isoman di rumah. Menurut Febri, ini berdasarkan hasil asesmen Satgas Covid-19 yang merekomendasi bahwa rumah mereka layak digunakan untuk isoman. Tentunya warga yang isoman tersebut di bawah pantauan atau monitoring tenaga kesehatan di puskesmas setempat.
“Karena yang lain dilihat rumahnya itu ketika diasesmen memungkinkan untuk dilaksanakan isoman. Tapi yang melakukan isoman itu tetap dilakukan pemantauan atau monitoring oleh petugas puskesmas,” ujarnya.
Dengan adanya rumah sehat tersebut, Febri menyatakan, bahwa penanganan Covid-19 yang dilakukan Pemkot Surabaya bisa lebih cepat. Di lain hal, tenaga kesehatan juga lebih mudah memberikan penanganan kepada warga di rumah sehat apabila sewaktu-waktu membutuhkan kedaruratan.
“Alhamdulillah dengan adanya rumah sehat atau isoter ini penanganan bisa lebih cepat dan penularan klaster keluarga bisa dicegah,” imbuhnya.
Sementara itu, Febri menambahkan, di Rumah Sakit Indoor Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya, per hari ini masih dimanfaatkan untuk isoter oleh 44 warga. Mereka diketahui memiliki gejala ringan hingga sedang.
“Gejalanya ada yang sedang dan ringan. Tapi sampai hari ini Insya Allah terkendali, pasien juga diperhatikan maksimal oleh petugas di lapangan,” ulasnya. **