Senator Jawa Timur itu menilai, dengan ringannya hukuman pengedar atau bandar narkoba kelas kakap, hal tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan Indonesia dalam penegakan hukum terkait narkoba.
“Bagi saya pribadi, ini tentu cukup mengherankan dan menimbulkan tanda tanya besar. Saya kira perlu ditelusuri keputusan hakim ini. Jangan-jangan ada mafia peradilan yang bermain,” tuturnya.
Indonesia sendiri, menurut LaNyalla, telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam Undang-Undang Narkotika. Dengan kondisi tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjaga warganya dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal.
“Dalam konvensi internasional itu Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa. Sehingga, penegakan hukumnya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satunya dengan penerapan hukuman berat pidana mati,” kata LaNyalla.
Mantan Ketua Umum PSSI itu juga meminta masyarakat untuk ikut serta mengawasi proses hukum dalam setiap peradilan narkotika. Jika ada proses yang tidak sepantasnya terjadi, apalagi memberikan hukuman ringan kepada terpidana narkoba, menurut LaNyalla, masyarakat bisa melaporkan ke pihak yang berwajib atau kepada Komisi Yudisial.
“Bukan tidak percaya pada hakim, tetapi sudah sewajarnya Komisi Yudisial juga terus melakukan pengawasan intensif terhadap hakim-hakim. Ini kan tugas pokoknya, tugas rutin. Apalagi keputusan Pengadilan Tinggi Bandung membebaskan terpidana narkoba yang menyelundupkan 402 Kg sabu-sabu dari hukuman mati jadi sorotan dan banyak dipertanyakan sejumlah kalangan,” tutupnya. (*)