Jumat, 19 April 2024
30 C
Surabaya
More
    Renungan PagiLayakkah Menjadi Pemenang di Hari Kemenangan?

    Kajian Ramadhan, Diasuh Univ. Darul Ulum Jombang (28)

    Layakkah Menjadi Pemenang di Hari Kemenangan?

    Dr. H. Muhtadi M.HI
    (Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Darul’Ulum Jombang)

    Setiap menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, sering kita melihat benner yang bertulisan“Marhaban ya syahra Ramadhan 1442 H”, terpampang di depan masjid, mushalla, setiap lembaga pendidikan, bahkan hampir di depan setiap instansi pemerintah, ada tulisan semisal marhaban………ya syahra al-Siyam.

    Namun tidak demikian halnya saat bulan Syawal tiba, tidak ada tulisan “Marhaban ya syahra Syawal 1442 H”, yang ada malah ungkapan tertulis “Selamat hari raya Idul Fitri 1442 H, mohon maaf lahir batin”. Sepertinya bulan Ramadhan memang bulan yang super istimewa dari bulan-bulan yang lain, sebagaimana telah banyak disarikan dalam al-Quran maupun al-Hadith.

    Kata Marhaban terlepas dari kata apapun yang tertulis sesudahnya adalah mengandung perasaan senang dan bahagia walaupun dalam kenyataanya tidak semuanya demikian. Layaknya akan kedatangan tamu Agung Rasulullah misalnya, marhaban ya Rasulallah, suatu ngkapan kebahagiaan akan kehadiran orang teristimewa diantara ciptaan Allah.

    Ungkapan kerinduan seseorang yang terpendam lama berpisah, atau memang belum pernah bertemu sama sekali secara fisik, mendambakan ingin bertemu kelak di akherat, begitulah kiranya dengan ungkapan marhaban ya Ramadhan.

    Wajar jika kemudian umat Islam menyambut baik, mencurahkan tenaga, pikiran dan sebagian hartanya untuk beribadah atau beramal di bulan yang disebut syahr al-Quran ini.

    Terlebih pada detik-detik di penghujung malam (semalam) yang lebih baik dari seribu bualan, malam yang disebut oleh Rasulullah pembebasan dari api neraka. Perasaan senang dan sedih melebur menjadi satu, senang karena telah mampu menjalankan ibadah puasa, shalat tarawih, tadarus al-Quran, dan amal shalih yang lain, sedih karena bonus pada bulan ini (berlipat gandanya pahala, mustajabahnya do’a), tinggal beberapa hari lagi akan berakhir.

    Idul Fitri yang dapat diartikan “kembali suci atau bersih” setelah satu bulan penuh berpuasa menahan diri dari makan, minum, dan hawa nafsu. Mengisinya dengan berbagai aktifitas positif baik yang wajib atau sunnah, amal baik yang terkait dengan hablum minallah maupun hablum minannas.

    Dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, sehingga pada hari raya 1 syawal ini disebutnya dengan Idul Fitri (kembali menjadi suci). Ada pula yang menyebutnya dengan “Hari kemenangan”, menang dengan siapa ? tentu jawabnya adalah menang melawan dengan hawa nafsu. Pertanyaan selanjutnya adalah layakkah kita menyandang predikat pemenang ?

    Tak ada yang mampu menilai apakah kita sebagai pemenang sejati atau tidak melainkan dirinya sendiri, jika menjadi pemenang, pertanyaan berikutnya adalah berapa persentase kemenangan yang dicapai untuk melawan hawa nafsu ?

    Hal ini penting untuk kita renungkan agar tahu posisi diri kita di peringkat mana, sehingga tidak terlena dalam kebahagiaan di hari “Idul Fitri” bersama sanak dan keluarga yang seakan kita “ menang telak di hari kemenangan ini 100 persen” , dan tidak ada gairah untuk menambah amal baik di hari yang lain.

    Bilamana kita merasa masih banyak kekurangan ( merasa tidak menang saat Ramadhan di masa lalu ) , Maka masih banyak pintu-pintu kebaikan yang lain di bulan Syawal dan selanjutnya yang bisa diperbuat, seperti hadith Nabi Muhammad SAW yang artinya“ Barang siapa berpuasa Ramadhan dan menambah enam hari puasa di bulan syawwal, ia mendapat pahala seperti puasa setahun penuh, (HR; Muslim, Riyadh al-Shalihin, 356).

    Ada pula puasa setiap hari Senin dan Kamis, dan puasa ayyam al-Bidh (hari putih atau terang bulan), yaitu tangal 13,14,15, setiap bulan komariya.

    Perlu dicermati pengampunan dosa dalam hadith di atas, adalah khusus dosa terhadap Allah SWT (hablun minallah), tidak termasuk dosa terhadap sesama manusia (hablum minannas), oleh sebab itu di setiap bulan Syawal di Indonesia ada tradisi Halal bi Halal dalam rangka mohon maaf kepada sesama manusia karena merasa sudah berbuat dosa.

    Walaupun istilah ini tidak ditemukan dasarnya secara langsung dari al-Quran maupun al-Hadith, dan tidak dijumpai di bangsa dan negara manapun.
    Apa itu Halal bi Halal ?

    Ustadz Fathul Chodir dari Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur menceritakan istilah Halal bi Halal dicetuskan pertama kali oleh KH Wahab Chasbullah pada tahun 1946. Ketika itu Indonesia sedang dilanda disintegrasi bangsa, kemudian Bung Karno memanggil Kiai Wahab Chasbullah untuk dimintai saran dan pendapatnya untuk mengatasi situasi politik di Indonesia.

    Akhirnya Kiai Wahab menganjurkan adanya Halal bi Halal diharapkan bisa lebih mempererat tali persaudaraan, kemanusiaan, dan persatuan kebangsaan. Saran tersebut dianggapnya sangat tepat dan setelah diadakan Halal Bi Halal, semua permasalahan bangsa dapat dikendalikan dengan baik.

    Tradisi Halal bi Halal ini kemudian diteruskan hingga sekarang, yang dalam trilogi Ukhuwah Nahdhatul Ulama’ dikenal dengan ukhuwah Islamiyah (pesaudaraan sesama musim), ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia tanpa mandang agama), dan ukhuwah wathaniyah (persaudaran kebangsaan), dalam rangka momen untuk saling maaf memaafkan antara satu dengan yang lain. Hal demikian sesuai dengan firman Allah yang artinya.

    “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”, (Ali Imron ayat, 133)

    Ada pula hadith nabi yang artinya “ Setiap anak cucu Adam terdapat banyak kesalahan, dan sebaik-baik orang salah adalah orang-orang yang mau bertaubat.(HR, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz, 2. Hal: 1420).

    Tradisi Halal bi Halal di Indonesia ini, dilakukan saat Idul Fitri tiba, saling anjang sana, silaturrahmi, saling memaafkan, sang anak minta maaf kepada orang tuanya, adik mengawali minta maaf kepada yang lebih tua, serta ber anjang sana ke tetangga dan saudara-saudara yang dekat atau yang jauh.

    Pada hari Idul Fitri juga diadakan silaturahmi kepada para Kiyai, Ibu Nyai yang dijadikan uswah atau teladan unuk mohon maaf, dan permohonan doa agar kehidupannya senantiasa sehat, selamat dan penuh barokah.
    Mengapa Riyoyo Kupat ?

    Setelah menjalankan puasa sat bulan penuh, masuk pada hari raya “ Idul fitri “ umat Islam memiliki tradisi unik setelah satu minggu lebaran (hari ke tujuh bulan syawal), yaitu menamakan  riyoyo kupat atau lebaran ketupat. Tradisi ini sangat kental akan akulturasi (percampuran) budaya jawa dan kebiasaan umat Islam dalam menyambut hari raya Idul Fitri.

    Sangat bisa dipahami mengingat Islam di Indonesia berkembang di daerah ini melalui akulturasi budaya yang ajarannya dibawa wali songo (wali sembilan).

    Tradisi riyoyo kupat ini, diawali dengan mengadakan tahlil, doa, dan sedikit ceramah agama di masjid atau musholla di sekitar lingkungan rumah. Orang yang datang pun biasanya membawa makanan kupat (ketupat) yaitu makan terbuat dari beras yang dibungkus dengan janur , yang bentuknya segi empat atau segi tiga.

    Ada pula makanan yang namanya lepet makanan yang terbuat dari ketan dan dibungkus dengan janur, yang akan disantap bersama setelah acara tahlil dan doa.

    Ketupat menyimbolkan bagaimana seharusnya manusia bisa hidup dengan rukun tetangga yang baik. Ikatan antara daun kelapa menyimbolkan persatuan antar warga harus kokoh seperti sampul pada ketupat. Beras atau nasi itu diibaratkan masalah yang akan dihadapi, apabila sampulnya rapat maka beras atau nasi sebanyak apapun dan seberat apapun pasti bisa diatasi.

    Hal itu juga berarti apabila persatuan antara masyarakat kuat tentunya masalah sebesar apapun pasti bisa diatasi. Sehingga hasilnya akan tercipta kesejahteraan sosial yang dilambangkan ketupat yang masak.

    Sunan Kalijaga menganalogikan hari raya ketupat sebagai bagian mengakui kesalahan dalam empat tindakan. Kupat adalah ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan, laku papat artinya empat tindakan. Laku papat itu empat tindakan dalam perayaan lebaran, empat tindakan tersebut adalah lebaran, luberan, leburan dan laburan.

    Lebaran memiliki arti usai atau berakhir, yang menandakan selesainya masa berpuasa dalam bulan Ramadhan dan kesiapan menyongsong kemenangan. Luberan bermakna meluber atau melimpah, sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin.

    Leburan maknanya adalah habis dan melebur, maksudnya pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur. Laburan berasal dari kata labur atau kapur, maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.

    Ketupat menjadi simbol maaf bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, otomatis pintu maaf telah dibuka dan terhapuslah segala yang pernah khilaf antar sesama manusia.

    Selamat Idul Fitri 1442 H, mohon maaf lahir dan batin, semoga tadarus, tarawih, dan ibadah yang lain di bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT Semoga berkah lailatul Qadar di bulan Ramadhan, dan Idul Fitri di bulan syawal ini, dosa kita diampuni oleh Allah SWT serta menadapat ridho-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin***

    Penulis : Dr. H. Muhtadi, M. HI

    Sumber : WartaTransparansi.com

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan