Oleh : Zahrul Azhar Asumta (Wakil Ketua Golkar Jatim)
Tak jarang kita mengalami perselisihan dengan yang lain disebabkan oleh hal hal yg tidak esensif bahkan cenderung hal yang remeh temeh, sepeti halnya Percekcokan suami istri sering terjadi bukan disebabkan oleh hal hal yang substantif tapi lebih pada gengsi dan ketidak mauan mengalah diantara mereka.
Simbol simbol , memang terkadang menjadi penting terutama bagi mereka yang masih belum sampai pada tingkatan esensi. Simbol memang hal yang paling kasat mata untuk mewakili diri hal hal yang tidak bisa dijelaskan oleh kata kata, sehingga mudah sekali digunakan oleh pihak pihak yang justru tidak peduli dengan simbol (bahkan bisa jadi esensinya pun ndak paham) untuk memainkan perasaan dan emosi bagi para pemuja simbol tersbut.
Setiap agama memiliki simbol yang diciptakan sendiri oleh mereka , dibulan Desember jika kita datang ke Mall mall maka kita akan disuguhii salju salju dan pohon cemara artifisial, dibulan ramadhan kita akan disuguhi ornamen ornamen bedug dan ketupat , suasana seakan menjadi Relijius dan seakan pihak pengelola mall mengajak kita ; “ayo lah belanja sebanyak banyaknya untuk menyambut hari yang mulia agamamu” .
Ini membuktikan “simbol” bisa dijadikan bahan untuk mengeruk keuntungan bagi para bisnisman, dan runyamnya belum tentu para bisnisman tersebut memiliki ikatan batin dengan simbol simbol tersebut.
Berkat propaganda simbolik ini, Data menujukan bahwa Konsumerisme masyarakat justru tinggi disaat bulan yang diajarkan secara esensi seharusnya justru harus mampu menahan diri.
Sampai kapan kita bertekuk lutut dibawah simbol simbol semu dalam beragama ?
Romadhon kali ini seakan memberi pelajaran kepada kita semua agar kita kembali kepada esensi , bukan pada simbol simbol yang gegap gempita. Beruntung lah bagi kita yang masih memilik rasa suka cita ketika hadirnya ramadhan karena banyaknya berkah dan pahala yang ada didalamnya, bukan sepeti mental EO yang mengharapkan ramadhan karena bisa jualan stand dan mengkapitalisasi masjid.
Covid 19 ini memberi kesempatan kepada kita agar kita kembali lagi kepada esensi dalam berpuasa yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga melatih kita untuk saling berbagi serta mampu menahan diri untuk tidak kelakuan dari yang mestinya diperbolehkan oleh agama.
Tidak harus ada petasan dan kembang api untuk menujukkan bahwa ini bulan yang kita nanti nanti
Tidak Harus ada bukber dan ngabuburit untuk menunjukkan bahwa kita sudah menjalankan puasa.
Tidak harus ada takbir keliling untuk menjukkan bahwa kita sedang memuliakan Alloh.
Mari kembalikan esensi puasa ini yaitu untuk membangun rasa empati kita kepada sesama untuk mengetahui bagaimana rasanya lapar bagi kaum papa. Tingkatkan kesalehan sosial kita dengan perbanyak berbagi kepada sesama.
Esensi beragama adalah bagaimana kita mampu memanusiakan sesama, dan ini adalah cara kita memuliakan Alloh SWT.
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ
فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ
وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْ
…….
Bukan kah sudah jelas bahwa siapakah yang sejatinya pendusta agama ? Ya Mereka adalah orang yang menghardik anak yatim dan orang yang tidak memberi makan orang orang miskin.
Mari dibulan yang penuh rahmat ini kita tengok kanan kiri kita siapa tau ada yang membutuhkan uluran tangan kita. Dan jika kita sudah melakukan maka sejatinya kita telah mendapatkan RUH dari ibadah puasa kita , wallahualam. (*)