SIDOARJO (WartaTransparansi.Com) – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sidoarjo punya hajat luar biasa dalam mensikapi Khidmah Nahdlatul Ulama (NU) menjelang 1 Abad, dalam bingkai “Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan”.
Jajaran pimpinan PCNU Sidoarjo, mempersiapkan SDM tahan banting, dengan menggelar seminar Nasional bertema: “Mewaspadai Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme dalam Kerangka Membangun Kejayaan NU-NKRI” Ahad (31/1/2021) dengan menghadirkan Sekjen PBNU Dr. H. Helmy Faishal Zaini, Rektor UINSA Surabaya Prof. Masdar Hilmy, MA, PhD. Dan keynote speaker mantan pimpinan Jemaah Islamiyah (JI) Nashir Abbas.
Kegiatan di kantor lantai 3 PCNU Sidoarjo dengan menerapkan Prokes Covid-19 ini, berlangsung menarik. Selain mengupas tuntas, jaringan JI diulas Nashir Abbas, PCNU melakukan launching dan apresiasi 9 buku karya kader NU Sidoarjo, bagian dari pendalaman, pemahaman dan pengabdian faham Ahlu Sunnah wal Jamaah An-Nahdliyah.
Menurut Nashir Abbas yang pernah sealiran dengan Abu Bakar Ba’asyir, gerakan intoleran, radikalisme dan terorisme disebabkan kurang pemahaman soal keagamaan, pengalihan dokrin dan gampang menyalahkan kelompok lain, dengan anggapan, perilaku perilaku yang tidak sesuai dengan keyakinannya itu disebut bid’ah dan kafir.
“Pimpinan JI itu punya kelihaian menanamkan mainset untuk berjuang dan Negara dianggap musuh. Awalnya bermula dari sifat dan sikap intoleran. Lama-kelamaan menjadi radikalis, kemudian lakukan aksi terorisme. Tahapan itu yang harus diwaspadai,” ubar Nasir Abbas kepada WartaTransparansi.Com group Siberindo.Co, kemarin.
Lanjut Nashir Abbas, untuk menangkal gerakan intoleran, radikalisme dan terorisme melalui pemberian edukasi sejak dini. Baginya, edukasi sejak mulai anak-anak sangatlah penting. Hal ini, agar mereka menghargai perbedaan pendapat, menghargai beda keyakinan dan agama serta menanamkan toleransi agar saling menghormati.
“Saya dulu, masih muda sudah berani menyalahkan orang. Menuding mereka bid’ah, masuk neraka. Setelah, belajar dan memahami agama lebih mendalam, ternyata banyak hujjah dan dalil, mengapa ada perbedaan. Jadi, pemberian edukasi untuk memahami tata cara beribadah, sangat penting. Supaya tidak gampang terprovokasi,” ulas Nashir Abbas, pernah menjadi warga Singapura dan malaysia.
Nashir tidak menampik, keberadaan NU mampu menjadi penyeimbang dan benteng dalam melawan gerakan intoleran, radikalisme dan terorisme yang menganggap Negara sebagai penguasa dlolim dan thogut.
“Ketegasan NU dalam berjihad sesuai resolusi dari Hasyim Asy’ari sangat bertolak belakang dengan jaringan terorisme yang gampang menyalahkan orang atau kelompok. Keutuhan NU dalam memandang Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 45 dan NKRI Harga Mati, merupakan empat pilar yang sangat ampuh dalam meredam terorisme,” tandasnya.
Pertanyaan dari KH. Abdul Wahid Harun, Wakil Syuriyah PCNU tentang sumber dana JI atau kelompok radikal yang ada di Indonesia, Nashir Abbas menyebut, secara internal, para simpatisan dan anggota mengumpulkan dari sumbangnan dan iuran. Ada juga bantuan dari luar negeri yang punya tujuan merusak sendi-sendi persatuan Negara.
“Jaringan terorisme, menggunakan kaleng infaq yang dititipkan di warung-warung. Tapi tidak semuanya. Karena masih ada yang digunakan untuk hal yang baik,” tegasnya.
Sementara Ketua PCNU Sidoarjo, KH Maskun, MHi, mengaku pihaknya sengaja mendatangkan pelaku aksi terorisme yang sudah bertaubat untuk mempelajari strategi maupun cara doktrin bagi generasi penerus agar semakin mencintai NKRI. Baginya, dalam menyongsong satu abad NU, masalah ini yang sering melibatkan NU sebagai ajang pembicaraan. Baik soal isu intoleran, radikalisme dan terorisme.
“Dalam urusan itu, NU selalu ada di garda terdepan untuk memberantas gerakan yang tidak sesuai dengan nilai agama dan kebangsaan. Dari seminar ini kami baru menyadari sumber gerakan radikal itu ada di sekeliling kita. Mereka menggunakan kaleng-kaleng sumbangan yang tidak jelas. Kalau yang paling aman untuk berinfaq adalah kaleng-kaleng yang ada tulisan NU Care atau Laziznu,” pungkasnya.
Usai seminar, Rais Syuriyah KH. Ahmad Rofiq Siroj sempat dialog dengan mantan pentolan JI, Nashir Abbas, mengenai orang-orang yang mengaku ahlul bait tapi belum mampu menjaga lisannya. Mereka sepakat, bahwa kecongkakan, kesombongan dan tidak mampu menjaga lisan bagian dari kurang cerdas dalam mensikapi sebagai seorang ulama. (mat)