Terkait dengan perubahan pola Covid-19 pada second wave, menurut Yuri, ternyata banyak sekali kasus yang tanda klinisnya ringan yang kemudian seringkali ada flu ringan dan minum obat, suhunya normal atau beberapa kasus tanpa gejala, sehingga betul-betul tidak ada tanda apapun yang didapatkan.
”Inilah yang kemudian kita lanjutkan dengan memberikan kartu kewaspadaan kesehatan. Karena tidak mungkin kemudian setiap yang datang kita berhentikan, kemudian kita ambil ke pusat dari nasofaring atau orofaring untuk diperiksa,” katanya.
iProses ini, menurutnya, bisa dibayangkan kalau misalnya dengan metode pemeriksaan cepat Implementation Completion Report (ICR) membutuhkan 24 jam, berapa lama yang bersangkutan akan tertahan di bandara.
”Ini yang menjadi permasalahan. Oleh karena itu, kita tidak terlalu berlebihan dan standar di seluruh dunia pun juga tidak melakukan seperti itu,” imbuhnya seraya menyampaikan bahwa proses pemantauan dilaksanakan dengan dua mekanisme, yaitu karantina pintu masuk dan karantina wilayah. Soal Kejadian Luar Biasa (KLB) dan pandemi atau wabah.
Dijelaskan juga, bahwa KLB itu ukurannya secara normatif hanya dikatakan peningkatan jumlah kasus 2 kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya, maka disebut dengan KLB, itu untuk emerging disease. ”Untuk new emerging diseases, kasus yang semula yang enggak ada menjadi ada itu KLB. Penanganannya adalah otoritas kesehatan setempat, karena pernyataan KLB adalah pernyataan oleh kepala daerah. Sementara kalau wabah, pandemi itu pernyataannya harus dikeluarkan oleh menteri, setingkat menteri atau ke atas lebih tinggi,” urainya.
Kalau diperhatikan dalam sisi pembiayaan, Yuri menjelaskan jikalau berbicara pandemi, berbicara wabah, ada acuan aturan di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Bencana.
”Dan ini masuk di dalam konteks bencana non-alam. Ada bencana alam, non-alam, dan sosial,” pungkasnya. (wt)