MAKKAH – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan sambutan pada SIlaturahim NU Sedunia yang berlangsung di Jarwal, Makkah, Kamis (8/8/2019).
Hadir dalam kesempatan ini, KH Bunyamin Ruhiyat dari PBNU, KH Anwar Mansur dari Pesantren Lirboyo, KH Asep Saifuddin Chalim dari Pesantren Amanatul Umah, KH Agus Ali Masyhuri dari Sidoarjo, Dubes RI di Saudi Agus Maftuh Abegebriel, Wagub Jawa Tengah Gus Yasin, KH Anwar Zahid, serta para jemaah haji dan pelajar NU yang datang dari sejumlah cabang internasional.
Menag mengajak warga nahdliyin untuk mengoptimalkan seluruh energi Nahdlatul Ulama (NU) guna kepentingan bangsa. Silaturahim ini menjadi forum penguatan untuk menyatukan energi positif dari diaspora NU. “Jika mereka disatukan, alangkah besar potensi energi yang bisa didapatkan untuk segala kebaikan yang kita ingini,” pesan Menag.
Berikut ini sambutan lengkap Menag Lukman.
Alhamdulillah saya dapat menghadiri pertemuan ini lagi untuk keenam kalinya secara berturut-turut, sejak pertemuan ini pertama kali digelar PCI NU Saudi Arabia pada tahun 2001 atau 18 tahun silam.
Pertemuan ini amat penting bagi kita semua, warga NU. Silaturahim ini membawa kita kembali ke alam nyata. Dari yang semula hanya bertegur sapa di dunia maya, di sini kita dapat bertatap muka. Tentu ada suasana berbeda antara kita bertemu langsung seperti ini bercakap-cakap, ketimbang sekadar bertegur sapa di whatshapp. Ada nuansa persaudaraan, persahabatan, juga tabarrukan.
Lebih dari itu, silaturahim ini adalah forum penguatan untuk menyatukan energi positif dari pada diaspora NU. Seperti halnya umat Islam dari segala penjuru dunia yang berkumpul di Tanah Suci ini, kita di sini berharap mendapatkan keberkahan ilahi dan kemudian menebarkannya ke segala arah. Orang-orang NU telah tersebar di berbagai negara. Sebagian mereka sedang menempuh studi, sebagian lagi telah berkiprah di segala macam bidang profesi. Jika mereka disatukan, alangkah besar potensi energi yang bisa didapatkan untuk segala kebaikan yang kita ingini.
Tapi di zaman sekarang, kita tidak boleh lagi sekadar bicara potensi. Karena jika hanya menghitung potensi, kita akan selalu terlena dengan angka-angka belaka. Kita seringkali bangga dengan sebutan NU adalah organisasi Islam terbesar di dunia, Indonesia punya populasi muslim terbesar di dunia, dan seterusnya. Tapi apa yang bisa kita perbuat dengan itu? Sebagai yang terbesar, apakah kita sudah dominan mewarnai wajah Islam di muka bumi?
Berawal dari pertanyaan tersebut, marilah kita mengubah potensi energi pada NU menjadi daya nyata bagi kemanusiaan. Dari situlah kita akan mengawal perdamaian dunia karena pada hakikatnya manusia membutuhkan kedamaian.
Dalam pelajaran fisika zaman sekolah dulu, kita ingat bahwa energi terbagi dalam tiga jenis: energi potensial, energi kinetik, dan energi mekanik. Energi potensial sering disebut juga energi diam, karena benda yang dalam keadaan diam saja dapat dianggap memiliki energi. Dalam hal ini, NU diam saja tidak melakukan apa pun, orang sudah bisa menghitung sebegitu besar kekuatannya. Lalu, energi kinetik, yaitu energi gerak yang besar kecilnya dipengaruhi oleh pola gerakan yang terjadi. NU akan dianggap eksis jika dapat dirasakan atau dilihat gerakannya. Sedangkan energi mekanik biasanya dikaitkan dengan pola penggunaan energi dan dampaknya. Pola gerak dan mekanisme yang kita lakukan dalam memanfaatkan energi akan memberikan dampak sesuai keinginan kita. Ibarat main badminton, ketika kita pukul bola, maka energi kinetik yang kita keluarkan akan menjadikan shuttlecock terbang, kemudian jatuh dan memberikan dampak. Shuttlecock akan jatuh di posisi yang kita inginkan jika kita memukul dengan cara tertentu sambil memperkirakan daya jangkau, kondisi angin, dan seterusnya. NU juga begitu, ia akan menjadi seperti apa, amat tergantung dari bagaimana kita mengoptimalkan energi yang dikandungnya.
Kita patut bersyukur, para pendiri NU adalah orang-orang besar yang mampu memberikan pengaruh luar biasa, sehingga diamnya NU saja sudah punya energi potensial amat besar. Kita bersyukur pula, pola gerak NU telah menjadi magnet bagi dunia. Banyak pihak dari negara-negara lain yang datang ke Indonesia untuk belajar dari NU, baik yang melalui pengurus NU, lewat diplomasi, maupun yang langsung ke kantong-kantong NU seperti pesantren dan masyarakat umum pengamal amaliah NU. Mereka belajar tentang cara kita mempraktikkan agama, cara kita dalam menampilkan Islam yang rahmah.
Untuk mengefektikan energi kinetik NU agar terasa produktif, kita perlu melakukan beberapa langkah. Sebagai langkah awal, kita harus memperkuat sinergi. Kekuatan-kekuatan NU di berbagai sisi tidak akan ada artinya jika tercerai berai. Orang NU boleh dan bisa di mana-mana, tapi keberadaannya harus konsisten membawa kepentingan NU. Tapi kepentingan NU di sini bukan berarti secara sempit sekadar untuk memperbesar organisasi. Lebih dari itu, kepentingan NU sesungguhnya sama dengan kepentingan bangsa dan negara. Yakni, bagaimana mewujudkan maqashid syariah dalam kerangka NKRI yang berbhinneka tunggal ika. Bukan sebaliknya, mengangkangi konstitusi dan kesepakatan warga bangsa dengan memaksakan formalisasi syariah maupun sebaliknya liberalisasi aturan.
Di tempat ini, mari kita luruhkan segala perbedaan. Kita satukan kembali energi ke-NU-an (ghirah nahdhiyah) dengan meneguhkan komitmen bersama sesuai cita-cita pendiri NU, yaitu Islahul Ummah atau perbaikan umat dalam berbagai bidang; agama, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Kita bisa berposisi apa saja dan berada di mana saja, tapi jangan pernah lupa untuk menggelorakan ruh NU dan menjaga kekompakan sesama Nahdhiyin.