Lapsus  

Silaturahim NU Sedunia di Makkah, Menag: Ini Forum untuk Menyatukan Energi Positif

Silaturahim NU Sedunia di Makkah, Menag: Ini Forum untuk Menyatukan Energi Positif

Jumlah Nahdhiyin yang demikian besar tidaklah berupa kumpulan orang-orang dengan profil yang sama. Orang-orang NU terbagi dalam berbagai segmen yang tumbuh dalam kehidupannya masing-masing. Ada NU struktural dan NU kultural. Ada NU tradisional, NU profesional, sampai yang dicap NU liberal. Ada NU ashli (pakai shod), ada pula NU urban. Lalu, ada angkatan NU zaman kolonial sampai generasi NU milenial. Semakin dikategorisasi, makin banyak ragamnya. Di situlah uniknya NU, seperti keunikan pesantren yang menurut gurauan para peneliti: semakin dikaji makin bikin pusing sendiri.

Salah satu yang menjadi keunggulan NU di mata orang lain adalah kemampuannya dalam berbudaya. Kita para penerus dakwah metode Walisongo jangan sampai melupakan bidang garapan ini. Sebab, di situlah ruang kreasi paling lentur untuk berdialog dengan zaman. Lewat budaya, kita dapat mengejawantahkan kaidah fikih almuhafazah ala al-qadim as-shalih, wal ahdzu bil-jadid al-aslah.

Kita bangga sekaligus bersyukur, shalawat dan tahlilan yang merupakan tradisi NU mulai diterima masyarakat Arab. Mungkin sebagian di sini merasakan langsung bagaimana pemilik-pemilik hotel menyambut jemaah haji dengan lantunan shalawat yang biasa kita dengar di Tanah Air. Saya tahun lalu meresmikan sebuah gedung di dekat Daker dengan acara sesuai tradisi Nahdhiyin, dan pemilik hotel malah senang. Di jalan-jalan kita juga makin biasa disapa oleh orang Arab karena mereka suka keramahan orang Indonesia. Saya rasa, kalau boleh jujur, orang NU pasti lebih bisa senyum bahkan ketawa, karena sesungguhnya hidup ala NU itu memang lebih suka menebar ramah dan rahmah, dari pada marah-marah.

Kita pun bersyukur bahwa warga NU telah menunjukkan keberpengaruhannya dalam politik dalam negeri sehingga mampu mengantarkan kiai NU pada puncak kepemimpinan nasional. Guru kita, Kyai Maruf Amin mendampingi presiden terpilih, Pak Jokowi, untuk memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan. Capaian ini jangan dianggap sebagai puncak prestasi politik kaum Nahdliyin dalam proses demokrasi di masa-masa ini. Sebaliknya, ini adalah sebuah awal bagi kita untuk menunjukkan kemampuan warga NU dalam konteks bernegara. Jika selama ini warga NU telah berkontribusi nyata menjaga keutuhan NKRI, maka kini saatnya kita menjaga amanah rakyat sekaligus memajukan negeri.

Salah satu tantangan terbesar kita adalah menghadapi zaman yang cepat berubah. Kita berhadapan dengan generasi milenial yang serba berperanti digital. Kita berhadapan juga dengan pesatnya inovasi teknologi yang menimbulkan disrupsi. Tiada jalan lain, kita harus melakukan shifting (peralihan) supaya dapat beradaptasi dengan zaman kekinian. Peralihan yang dimaksud tentu saja tidak drastis dan tanpa perencanaan, melainkan menganut kaidah-kaidah fikih yang dikontekstualisasi dengan situasi kontemporer. Peralihan ini juga bukan berarti bersalin rupa atau berpindah haluan, misalnya dari semula mengurus muslim pedesaan ke muslim perkotaan. Kita tetap mengurus warga desa, tapi juga memperhatikan penduduk kota dan seluruh warga bangsa.

Kehidupan beragama di ranah digital, utamanya media sosial, memiliki karakteristik tersendiri. Bukan saja menyangkut cara mengekspresikan agama, tapi juga terkait kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sentimen agama sebagai pasar. Melihat kondisi demikian, para agamawan yang mumpuni harus hadir memenuhi ruang internet dan media sosial. Hal ini supaya masyarakat yang haus agama dapat menemukan referensi keagamaan dari sumber yang otoritatif, seperti kiai pesantren dan kaum intelektual Nahdhiyin. Ini akan mencegah generasi digital menelan agama secara instan dari sumber yang tak matang. Sedangkan di sisi ekonomi, pengusaha NU harus aktif sebagai penentu arus ekonomi dan bukan sekadar obyek pasar.

Ini artinya, NU harus memperlebar segmentasi dan memperbaiki ekosistem. Pahami psikologis masyarakat terkini dengan segala dinamikanya. Perbanyak kawan, kurangi musuh. Jangan mudah menegasikan dan menepis suatu kelompok hanya karena ada perbedaan sedikit saja dengan kita. Jangan juga gampang menyalahkan orang lain, hanya karena kita kalah bersaing. Pun jangan mudah berkonflik karena hal-hal kecil yang tidak prinsipil. Jangan sampai NU yang besar malah terasing di masyarakat kita sendiri hanya karena gagal memahami dan merangkul mereka.

Di era tanpa batas seperti sekarang, kita mesti berpikiran terbuka, berlapang dada, dan selalu mengambil ibrah dari setiap peristiwa. Dua hari lalu, kita kehilangan guru kita KH Maimoen Zubair. Bukan hanya kita yang bersedih, alam pun turut berduka. Orang-orang dari berbagai kalangan merasa kehilangan sehingga doa terpanjat dari mana saja: kiai, jemaah, habib, sampai pendeta. Itu menunjukkan bahwa almarhum almaghfurlah adalah milik semua orang, milik bangsa, tidak bisa lagi sekadar diekslusifkan milik kelompok tertentu saja, milik NU saja, lalu orang lain tidak boleh mendoakan. Semoga semakin banyak orang NU yang mampu meneladani Mbah Moen, dan kita termasuk di dalamnya.

Kita lagi-lagi bersyukur, Indonesia telah terpilih sebagai Ketua Dewan Keamanan PBB. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk mewujudkan cita-cita nasional yaitu turut menciptakan perdamaian dunia. Akhir-akhir ini banyak negara menilai bahwa salah satu sumber konflik dunia selain perebutan dominasi ekonomi adalah cara pandang yang ekstrem. Itulah sebabnya, PBB menyatakan bahwa tahun ini adalah tahun moderasi.

Oktober nanti, Indonesia akan resmi mulai berperan sebagai pemimpin dalam penciptaan ketertiban, keamanan, dan perdamaian dunia. Sebagai negara yang masyarakatnya religius, wajar jika Indonesia lantas menjadikan nilai agama sebagai jalan mendamaikan umat manusia. Di sini pentingnya kita mengedepankan esensi agama itu sendiri yaitu memanusiakan manusia. Dan esensi itu tak mungkin dipahami jika ajaran agama dipahami secara esktrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

NU berhasil mengejawantahkan bagaimana beragama yang tidak ekstrem. Praktik beragama ala NU telah mempengaruhi Islam di Indonesia jadi terasa ramah, setidaknya dibanding banyak negara Islam lainnya. Tapi disrupsi sumber referensi keagamaan di era sosmed bisa saja mengubah lanskap itu sehingga Islam Indonesia yang toleran, inklusif, dan moderat makin tergerus. Karenanya, NU harus menegaskan dirinya sebagai panduan yang tepat bagi generasi masa kini dan generasi mendatang, bukan generasi masa lalu. Salah satu caranya, kuasai panggung digital, terus berkontribusi positif bagi negeri, dan berperan di isu-isu besar dunia. Mari jadikan paham NU dapat diterapkan penduduk muslim di seluruh dunia. Semoga dengan begitu, dunia akan menjadi lebih damai.

Akhirnya, mari senantiasa menebar kedamaian. Kapan pun, di mana pun, kepada siapa pun. (wt)