Surat-Surat Wasiat Mendiang Nana ( Obituari Penderita Kanker)

Catatan Ilham Bintang

Surat-Surat Wasiat Mendiang Nana ( Obituari Penderita Kanker)

Tantenya semula berencana mengantarkan Adnan untuk bertemu Nana, tapi urung dilaksanakan. Terkait kondisi Nana yang kritis di ruang ICU dan pertimbangan kondisi rentan Adnan sendiri yang masih bayi.

Terhadap posisi Adnan, mendiang Nana menulis surat “ wasiat” begini. “ Hi, suamiku, babanya Adnan yang terbaik . Pasti sulit rasanya membesarkan Adnan sendiri. Tapi percaya deh, nggak ada tempat terbaik  untuk Adnan selain di dekat babanya. Di awal-awal akan banyak yang memberikan saran ini dan itu, dengarkan saja. Jikq nggak sesuai dengan pola asuh sayang, nggak usah diikuti. Jangan malu- malu untuk meminta bantuan yah. Mulai dari donasi ASIP ( air susu ibu perah). Sampai membersihkan popok/ memandikan sekalipun. Ingat anak kita bukan anak sapi. Jadi, semampu sayang untuk menyediakan asip yah… jangan lupa banyak membaca dan bertanya. Lala pasti bisa membantu selalu. Jika menurut sayang Adnan dan sayang lebih baik berdua saja di Bandung silahkan. You know what best for our son! Besarkan Adnan jadi ahli ibadah, ahli syukur dan ahli Al Quran. Itu saja pesanku. Love you forever,” tulis mendiang begitu ringan. Seolah hanya mau berangkat berumrah ke Tanah Suci.

Nana tiga bersaudara. Nana, Lala dan si bungsu Toriq. Pas lebaran Toriq telah kembali di Tanah Air setelah merampungkan studinya di Jerman. Ia pun dapat menyaksikan kepergian almarhumah.

Ketiga putera puteri ini lahir dari pasangan Ir Novizar Swantry dengan Evawaty Ningsih, MBA.
Evawaty adalah sepupu isteri saya. Tapi hubungan batin mereka lebih dari sekedar sepupu. Waktu Eva muda, ia melanjutkan studi strata dua di Jakarta, dan tinggal di rumah keluarga isteri.
Jadi hubungan mereka amat dekat, layaknya bersaudara kandung. Waktu Lala menikah, saya diminta jadi saksi pernikahannya.

Kepada ayahnya, Novizar Swantry, almarhumah menulis begini. “ Pa, Nana mau minta ampun atas segala hal yang Nana kerjakan tapi tidak Papa ridhoi. Terima kasih atas segala pengorbanan yang Papa sudah lakukan untuk kita, anak-anaknya sampai-sampai tidak bisa mendampingi isteri tercinta di hari akhir. Terima kasih Pa untuk semua beban yang Papa usahakan pikul sendiri. Mulai sekarang kita harus berbagi beban dan juga kasih. I love u always pa,,, u re may hero.”

Tidak terasa saya juga meneteskan aimata ketika membaca surat- surat wasiat Nana yang dishare di WAG keluarga.
Masih segar dalam ingatan ketika si kembar Lala dan Nana lahir. Tentu saja dia jadi primadonna karena kembar pertama dan satu-satunya hingga kini di dalam keluarga besar isteri. Tapi sampai sekarang saya masih sering keliru membedakan mana Lala yang mana Nana.

Waktu Nana kuliah di Kuala Lumpur, sekitar 2009, kami sempat mengunjungi dia di sana. Dua malam di KL siang malam Nana mengawal kami, menyetiri sendiri mobilnya membawa kami berkeliling Ibu Kota negeri jiran itu. Beberapa kali saya membesoeknya saat dirawat di RS.

Saya dan isteri baru sehari tiba di Makassar Jumat (7/6) ketika Nana wafat . Kabar itu disampai lewat tengah malam tapi baru kami ketahui saat bangun untuk salat subuh, Sabtu (8/6) waktu Makassar.

Selasa ( 11/6) malam saya tiba kembali di Jakarta. Rabu ( 12/6) kami takziyah di rumah duka. Bertemu Novizar, Didik, Lala, dan suaminya Asep, juga Toriq yang masih memendam duka. Saya sekalian minta izin untuk mengutip cuplikan surat-surat wasiat dalam tulisan obituari Nana.

Tiada lagi Nana. Semoga almarhumah Husnul Khotimah. Semoga Allah SWT menyediakan tempat terbaik , yang lapang, nyaman, dan indah di sisiNya. Dan bagi keluarga yang ditinggalkan khususnya Didik, suaminya, dan Adnan, sang bayi, diberi kekuatan, ketabahan, ketenangan jiwa, serta dipelihara keikhlasannya melepas Nana ke pangkuan Ilahi Rabbi. Sesungguhnya, memang hanya Dia lah pemiliknya yang sah, seru sekalian alam. (***)