Jarang sekali, jamaah mencaritahu mengapa dirinya dapat panggilan sebagai dloifullah dan mengapa harus thawaf dan sai. Mengapa demikian? Tugas kita bersama untuk menyamakan persepsi, menyatuhkan niat suci agar tidak salah dalam bertindak dan mewujudkan tujuan mulia. Masih sering ditemui, ada jamaah berangkat umroh karena penasaran dengan cerita dan kisah orang sepulang dari haji atau umroh. Ada pula, karena tuntutan gengsi sehingga perjalanan ritual ke tanah suci hanya dianggap formalitas di lingkungan masyarakat.
Maka, perlu ada pelurusan dari beragam niat bengkok sehingga para dloifullah tidak salah dalam melangkah dan berniat. Bukankah, dalam bacaan talbiyah sudah gamblang, bahwa manusia hadir ke Haromain karena memenuhi panggilan Allah dan tidak mensekutukan. Artinya, hal paling mendasar adalah mendahulukan (menomor satukan) Allah SWT di atas segala-galanya. Bergesernya niat, bisa membawa implikasi yang kurang baik dalam beribadah.
Bila, jamaah memahami niat mulia tidak mensekutukan Allah, taat Allah dan Rasulullah serta berbakti kepada kedua orangtua sebagai pijakan menapak di Haromain, yakinlah tanpa sadar telah menabur keberkahan. Saat berdoa di tempat-tempat mustajabah (tempat yang mendapat keistimewaan) terkabulnya doa, maka bukan hanya sekedar mengetuk pintu langit dan memancarkan cahaya Ilahi, ada kepuasan batin untuk merengkuh ridlo-Nya.
Disertai bekal ilmu dan takwa, hampir dipastikan menghantarkan setiap dloifullah selalu rindu Baitullah di Makkatul Mukaromah dan rindu Rasulullah di Madinatul Munawaroh tidak pernah padam. Otomatis, saat kembali ke tanah air, ada keberkahan. Tanda-tanda yang perlu diperhatikan, adalah kepedulian seorang hamba (menafkahkan hartanya) baik dalam keadaan lapang atau sempit untuk memberikan sebagian rejekinya. Mampu mengendalikan amarah dan menjadi pemaaf terhadap manusia.
Jujur, tanpa terasa ada tangisan kedamaian saat jamaah memanjatkan doa di Roudlo atau pancaran cahaya terus menyelusup ke relung hati, ketika raga masih diberi kesempatan bisa memandang Baitullah (kabah), saat thawaf, shalat di Maqom Ibrahim, di Khijir Ismail dan menumpahkan segala permohonan maaf atas gelimang doa seorang hamba yang dloif.
Allahumma zidhadaalbaita tasyrifaan wata’dlimaan watakriiman wamahaabathaan wazidman syarrofahu wa’adlomahu wakarromahu miman hajjahu awi’tamarohu tasyrifaan wata’dlimaan watakrimaan wabirro. (Ya Allah, tambahkan kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan wibawa pada bait (Kabah) ini. Dan tambahkan pada orang-orang yang memuliakan, mengagungkan, dan menghormati diantara mereka yang berhaji atau umroh dengan kemuliaan, keagungan, kehormatan dan kebaikan.
Begitu pula senandung doa dalam setiap putaran thowaf yang berlawanan dengan arah jam, bukan sekedar menaburkan kemulian, keagungan, kehormatan dan kebaikan, ada getaran hebat sehingga yang diluar nalar bisa berbalik seizin Sang Tuan Rumah, yaitu Allah Azza wajalla. UAS setidaknya mampu membuka sebagian dari tabir Ilahi.
“Kita ini lahir dibarengi dengan takbir, saat matipun juga diikuti takbir. Begitu pula thawaf, ada gerakan dinamis dengan tetap berzikir dan mengingat Allah SWT. Thawaf juga diawali dengan takbir saat memulai di Rukun Hajar Aswad dan diakhiri dengan takbir juga saat kaki menapak sejajar di Hajar Aswad. Artinya, kita ini memang hanya milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Filosofi lain, adanya estafet dalam beribadah, sekarang kita thawaf, maka berikutnya adalah anak-anak kita, selanjutnya cucu-cucu kita dan seterusnya.
Kesinambungan ini harus tetap dijaga. Karena, banyak masyarakat (umat) yang tiap hari shalat lima waktu belum mendapatkan kesempatan untuk berthawaf, belum diberikan kemampuan mengunjungi baitullah,” ulas UAS, sambil menyebut salah satu hadits.
Rangkaian ibadah umrah, menurut UAS mengajari manusia yang diundang Allah, tidak sekedar menebar uang sebagai syarat keberangkatan, namun kesucian dalam berniat, berprilaku dan bertindak sehingga memperoleh marwa (kehormatan), itulah yang tersirat dari sai (lari-lari kecil) antara bukit shafa hingga tujuh kali dan berakhir di bukit Marwa.
Bahkan, yang diluar tanah haram (Mekah) diperbolehkan saat di Haram berumrah dilarang, mulai mencabut rambut, tumbuhan, memakai wangian, memakai pakaian berjahit dan berjimbun larangan lain. Berarti apa? Allah mengajari manusia pilihan untuk berlaku di pondasi kesucian, tanpa ada niat tulus dan suci, tidak bakal meraih kehormatan.
“Sai itu khan lari-lari kecil yang dilakukan sayyidina Siti Hajar agar anaknya Ismail mendapatkan pasokan air karena kehausan. Bukti, Allah mengajarkan segala sesuatu dengan perjuangan, ikhtiar, dan bekerja. Yang sering dilupakan manusia, tanpa pondasi kesucian.
Makanya, sai sebagai bukti pengorbanan dan perjuangan seorang ibu dengan tulus suci, walau tidak ada air yang diperoleh hingga berlari-lari dari Shofa-Marwa, Allah memberikan hadiah melalui nabi Ismail mukjizat air Zamzam yang terus mengeluarkan sumber hingga saat ini. Intinya, kesucian dari perbuatan manusia membuahkan kemarwaan. Kehormatan,” tutupnya. (*)