Oleh Djoko Tetuko – Komut Media Koran Transparansi
Hampir dapat dipastikan awal bulan suci Ramadan 1445 Hijriyah, berbeda antara organisasi kemasyarakatan dan keagamaan Muhammadiyah dengan pemerintah dan Nahdlatul Ulama.
Mengapa? Muhammadiyah dengan mengedepankan hisap dan meyakini wujudul hilal, memastikan bahwa awal puasa Ramadhan pada tanggal 11 Maret 2024, dengan melaksanakan sholat taraweh pada Minggu (10/3/2024) malam di seluruh pelosok negeri.
Sementara Nahdlatul Ulama (NU) dengan memegang teguh rukyatul hilal bersama pemerintah mengikuti proses melihat dan menyaksikan bulan dengan mata telanjang, baik tanpa alat canggih maupun dengan peralatan canggih.
Perbedaan dipastikan terjadi karena kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) akan jatuh pada tanggal 12 Maret 2024.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Astronomi pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Thomas Djamaludin mengungkapkan pada akhir bulan Syaban 1445 H atau 10 Maret 2024 tinggi bulan di Indonesia kurang dari 1 derajat.
“Di Jawa seperti Jakarta hanya 0,7 derajat dengan elongasi hanya 1,7 derajat yang mana ini belum memenuhi kriteria MABIMS,” ujar Thomas dalam acara diskusi bertajuk Kriteria Baru MABIMS dalam Penentuan Awal Ramadan, di kantor BRIN Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Kementerian Agama akan menggelar Sidang Isbat Penetapan Awal Ramadhan 1445 H, Minggu (10 Maret 2024). Sidang Isbat akan dihelat di Auditorium H.M Rasjidi Kementerian Agama, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) Kamaruddin Amin mengatakan, kegiatan ini akan digelar secara hybrid, daring dan luring. “Sidang Isbat ini merupakan salah satu layanan keagamaan bagi masyarakat untuk mendapat kepastian mengenai pelaksanaan ibadah,” papar Dirjen pada rapat persiapan Penetapan Awal Ramadhan di Jakarta, Senin (19/2/2024).
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais Binsyar) Kemenag, Adib menambahkan, Sidang Isbat akan melibatkan Tim Hisab dan Rukyat Kementerian Agama, serta dihadiri para duta besar negara sahabat dan perwakilan ormas Islam. Sidang ini juga akan melibatkan perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan undangan lainnya.
Kebiasan sidang Isbat, Ormas keagamaan yang besar dan memiliki jaringan luas di lingkungan umat Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Sarekat Islam, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Irsyad Al-Islamiyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Mathlaul Anwar, Al-Jam’iyatul Washliyah, Wanita Islam, Darud, mengikuti dengan seksama.
Perbedaan dan Rahmat
Perbedaan dalam awal Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia, sudah bukan rahasia umum mengingat dalam menentukan awal bulan (sama-sama) berdasarkan melihat pergerakan bulan (rembulan), beda dalam pemahaman dan pengertian.
Oleh karena itu, ketika menjumpai perbedaan awal puasa bulan suci Ramadhan, kembali mengambil hikmah dengan sama-sama meyakini keilmuan sesuai dengan petunjuk sekaligus arahan ulama. Sehingga perbedaan antar-umat ini tetap menjadi rahmat.
Sebagaimana sabda Rasullah Shollallahu Alaihi Wassalam (SAW), “Ikhtilaf baina ummati rahmah (perbedaan pendapat bagi umatku adalah rahmat)”, Demikian juga petunjuk
Al-Qur’an, (surat Yusuf, ayat 67) “Janganlah kalian (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain.”
Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan dengan bersandar hisab dan rukyat, ketika rembulan wujud pada derajat di bawa kesepakatan atau kesepahaman keilmuan rukyat. Maka perbedaan itu sudah pasti tidak akan ketemu, sampai kapan pun.
Sekedar mengetahui beberapa perbedaan dalam melihat bulan, baik pada derajat secara keilmuan tidak nampak.
Pertama, Rukyatul Hilal adalah kriteria penentu awal bulan kalender hijriyah dengan cara merukyah (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini berpegangan pada hadits Nabi Muhammad :
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasul dan para shahabatnya dan mengikuti ijtihad para ulama empat mazhab.
Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan hijriyah.
Kedua, Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip : Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal qhurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan Oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha untuk setiap tahun.
Ketiga, Imkanur – Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darusssalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah dengan prinsip :
Awal bulan (kalender) hijriyah terjadi jika :
- Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) bulan di atas cakrawala minimum 2 derajat, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan- Matahari minimum 3 derajat, atau
-
Pada saat bulan terbenam, usia bulan minimum 8 Jam, dihitung sejak ijtima’.
Secara bahasa Imkanur-rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal.
Secara praktis, Imkanur-rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab. Terdapat 3 kemungkinan :
Pertama, Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
Kedua, Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode Rukyat dan Hisab dalam kondisi ini sepakat.
Ketiga, ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara Rukyat. Tetapi metode hisab hilal sudah di atas cakrawala/ufuq. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat, maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi in. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Keempat, Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah yang menganut prinsip bahwa : Jika satu penduduk negri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.
Sebagai akibat dari perbedaan metode penentuan kriteria inilah yang seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan yang berakibat pula adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan dan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia perbedaan tersebut pernah beberapa kali terjadi. Misal pada tahun1992 (1412 H), ada yang berhari Raya Idul Fithri pada hari Jum’at 3 April 1992 mengikuti Arab Sa’udi. Ada yang hari Sabtu 4 April 1992 sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang hari Minggu 5 April 1992 dengan mendasarkan pada Imkanur-rukyat.
Penetapan awal Syawal juga pernah terjadi perbedaan pendapat yaitu pada tahun 1993, 1994 dan yang sangat menarik sebagaimana yang terjadi perbedaan penetapan awal Syawal 1432 H ( 2011 M), bahwa sidang Itsbat memutuskan awal Syawal jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011. Sementara di kalangan Muhammadiyah tetap pada pendiriannya awal Syawal jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011. Sementara menurut metode hisab posisi hilal di seluruh Indonesia saat itu sudah berada diatas ufuq antara 0 – s/d 2 derajat.
Sekedar diketahui, berdasarkan pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021 kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022.
Penetapan tanggal 12 Maret 2024 sebagai 1 Ramadhan nantinya akan dibuktikan dalam rukyat atau pengamatan pada saat magrib di tanggal 29 Syaban 1445 H atau 10 Maret 2024.
“Karena tingginya masih rendah hampir bisa dipastikan tidak akan ada yang berhasil melihat hilal, kalau pun ada yang melaporkan biasanya pada sidang itsbat akan ditolak. Karena tidak mungkin posisi bulan yang masih sangat rendah bisa terlihat,” ujar Prof Thomas Djamaluddin.
Prof Thomas Djamaludin mengatakan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) secara astronomi dinilai setara dalam penentuan awal bulan Hijriah. Sehingga, tidak ada dikotomi antara rukyat dan hisab.
“Metode rukyat hilal diterapkan pada tanggal 29 Hijriah untuk melaksanakan contoh Rasul (ta’abudi). Agar rukyat akurat, arahnya dibantu dengan hasil hisab. Hisab bisa digunakan untuk membuat kalender sampai waktu yang panjang di masa depan. Agar hisab merujuk juga pada contoh Rasul, maka kriterianya dibuat sesuai dengan hasil rukyat jangka panjang, berupa data visibilitas hilal atau imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat),” jelas Thomas.
Menurut Thomas, penerapan rukyat dan hisab bisa dipersatukan dengan kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat. Dia berpendapat terjadinya perbedaan awal bulan hijriah seperti Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah, bukan karena perbedaaan antara metode hisab dan rukyat, akan tetapi karena perbedaan kriteria hilal.
Sekedar mengetahui hisab dan rukyat dalam keilmuan menentukan penanggalan awal bulan berdasarkan rembulan.
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.
Secara harfiyah hisab berati perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.
Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan ummat Islam dalam menentukan masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat memulai berpuasa, awal Syawal (‘Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah untuk menentukan saat jama’ah haji wuquf di ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan ‘Idul Adha (10 Dzul Hijjah).
Di dalam Al-Qur’an (surat Yunus, ayat 5) disebutkan bahwa Tuhan sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam (surat Ar-Rahmaan, ayat 5) menyebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan), maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim yang telah mengembangkan methode Hisab modern adalah AL BIRUNI (973 – 1048 M ), IBNU TARIQ, AL KHAWARIZMI , AL BATANI dan HABASAH.
Bahkan dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (sofwere) yang praktis juga telah ada.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan tsabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya Ijtima’ (konjungsi), rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maqhrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibandingkan dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis.
Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maqhrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maqhrib hari berikutnya.
Namun demikian dari pengalaman selama ini tidak selalu hilal dapat terlihat. Dalam teori manakala selang waktu antara Ijtima’ dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiyah hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram di bandingkan “cahaya langit” sekitarnya.
Dalam sejarah peradaban ada kriteria DANJON (1932-1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara bulaan matahari sebesar 7 derajat.
Perbedaan awal puasa Ramadhan sudah di depan mata. Bagaimana mensikapi dengan keilmuan dan keyakinan masing-masing, sehingga akan menemukan rahmat dalam menjalankan ibadah puasa wajib sebulan penuh maupun ibadah sunnah lain dengan pahala 10-700 kali, dan puasa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala pemberi pahala.
Mari menenun perbedaan menjadi kerahmatan semata-mata karena Allah SWT. Mensandarkan semua aktifitas ibadah semata-mata karena rahmat, petunjuk, rahmat, dan hidayah dari Allah SWT. Walaupun kenyataan membuktikan awal sholat taraweh berbeda (jika tanggal 1 Ramadhan) berbeda, dan sholat Idul Fitri atau Idul Adha, juga berbeda (jika tanggal 1 Syawal) berbeda. Itulah rahmat dan nikmat bagi mereka yang mensandarkan semata-mata karena Allah SWT. (*)