Jaga “Dr. Samsi” lewat Alih Teknologi Media Bernama Restorasi

Jaga “Dr. Samsi” lewat Alih Teknologi Media Bernama Restorasi

JAKARTA (WartaTransparansi.com)Di daerah Priangan yang terkenal dengan hawanya yang sejuk,
sawah-sawah dan alam yang indah, di sanalah aku dilahirkan,
dalam satu keluarga yang sederhana hidupnya.
Orang tuaku tak pernah ku kenal. Mereka meninggal sewaktu aku masih bayi.
Aku dibesarkan oleh paman dan bibi.
Kalau Ahmad anak pamanku pulang ke kampung, dia selalu mengajak temannya yang dapat merebut hatiku.
Tiap kali mereka datang, bagiku ialah sebagai selingan hidup yang sunyi sepi.

Larik demi larik narasi di atas ialah potongan monolog pembuka yang dilantunkan oleh suara seorang perempuan dalam sebuah karya film. Visualisasi adegan yang disesuaikan dengan alur narasi pada layar berukuran raksasa, memantulkan cahaya berpendar yang seolah melompat gembira dari satu kepala manusia ke kepala yang lain.

Percik demi percik cahaya dari layar besar itu juga turut membanjiri wajah-wajah riang bercampur rasa penasaran nan membuncah entitas manusia yang tengah asyik bersandar di kursi-kursi sebuah bioskop dengan penuh rasa nyaman.

Tak seperti biasanya, bioskop arus-utama yang berada di jantung Kota Jakarta itu tengah menayangkan sebuah film hitam putih yang diproduksi jauh sebelum era milenium yaitu sekitar tujuh dekade silam, tepatnya pada tahun 1952. Pada tahun itu, sebuah film bertajuk “Dr. Samsi” lahir yang merupakan sebuah karya perempuan sutradara Indonesia bernama Ratna Asmara.

Tak hanya bergelut dari balik kamera, Ratna juga turut mengambil peran utama. Berperan sebagai gadis desa lugu bernama Sukaesih — sosok yang membacakan narasi pada adegan pembuka, pada film “Dr.Samsi” Ratna Asmara beradu kemampuan akting dengan sejumlah aktor seni peran lain, di antaranya Raden Ismail, M. Said, Kamaludin, Djuwita, Kartini, dan Awaludin.

Film “Dr. Samsi” sendiri awalnya merupakan sebuah karya sandiwara yang diciptakan oleh suami Ratna yaitu Andjar Asmara dan cukup populer hingga ke Negeri Jiran.

Secara garis besar, film “Dr. Samsi” bercerita mengenai perjalanan kehidupan seorang dokter bernama Samsi yang merawat anak hasil hubungan gelap dengan seorang perempuan bernama Sukaesih. Anak tersebut diberi nama Sugiat, tumbuh besar, kemudian bersekolah hukum di luar negeri.

Sugiat lantas menjadi pengacara tanpa pernah mengetahui kebenaran mengenai siapa sosok ibu kandungnya. Saat Sugiat pulang ke Indonesia, dia harus melakoni peran perdana sebagai pengacara dengan menangani kasus yang menimpa ibu kandungnya. Sang ibunda mendapatkan tuduhan membunuh suaminya yang baru bernama Leo.

Upaya penyelamatan

Hadirnya kembali film “Dr. Samsi” ke layar lebar pada tujuh dekade sejak diproduksi, tak lepas dari peranan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Selama ini, film dengan materi seluloid 35mm yang tersimpan dalam koleksi Sinematek Indonesia itu berada dalam kondisi yang nyaris punah dan tidak lengkap.

Hal itulah yang menjadi salah satu alasan bagi direktorat kementerian tersebut untuk segera melakukan tindakan penyelamatan dari format seluloid ke format digital yang lebih modern. Alih media melalui proses restorasi menjadi solusi terbaik untuk jaga catatan kejayaan sinema tanah air.

“Film ini kami pilih tidak hanya karena usia yang sudah lebih dari 50, namun film ini juga mempunyai nilai-nilai sejarah dan budaya. Restorasi dan peluncuran kembali film ini merupakan upaya menambah kekayaan arsip dan penyelamatan materi yang selama ini pernah menjadi catatan kejayaan sinema nasional,” kata Kepala Kelompok Kerja Perizinan dan Arsip Direktorat Film, Musik, dan Media Kemendikbudristek Nujul Kristanto.

Nujul mengungkapkan, pengelolaan arsip dan restorasi film “Dr. Samsi” menjadi salah satu kerja nyata Kemendikbudristek dalam menghargai peran para sutradara sekaligus karya-karya dalam membangun industri perfilman Indonesia. Hal itu sesuai dengan amanat Undang-undang No.33 tahun 2009 tentang Perfilman dan Undang-undang No.5 tahun 2017 tentang Pelestarian Artefak atau Produk Budaya khususnya film Indonesia.

Layaknya proses alih media dari format seluloid ke digital, film “Dr. Samsi” pun mesti melewati beberapa tahapan rumit sejak ide restorasi kali pertama mencuat pada tahun 2020. Menurut Koordinator Utama Digitalisasi dan Restorasi Kemendikbudristek Rizka Fitri Akbar, pihaknya telah menemukan beberapa kriteria di film tersebut untuk melakukan alih-media menuju restorasi.

“Pada tahun 2021, kami melakukan inspeksi secara fisik dan tadinya berharap tahun itu dapat langsung melakukan restorasi, namun ternyata tidak dapat karena materi fisik yang sangat parah dan tidak lengkap,” ucap Rizka.

Menurut Rizka setahun kemudian yaitu pada 2022, pihaknya kemudian mendapatkan bantuan untuk memperbaiki fisik film tersebut terkait kegiatan riset terhadap sutradara Ratna Asmara. Pada saat itu, Rizka mengatakan, obyek film yang ada di Sinematek ialah “Dr. Samsi”.

“Akhirnya, tahun ini film ‘Dr. Samsi’ dinyatakan harus direstorasi karena terdapat masalah pada materi fisik yang semakin rusak. Tantangan utama ialah materi yang tidak lengkap dan nyaris punah. Jika dibiarkan walau terus diperbaiki, maka ada namanya penyakit autokatalitik yang membuat film akan hancur ketika tiba masanya,” tutur dia.

Rizka lantas menambahkan bahwa permasalahan utama yang muncul dari film “Dr. Samsi” ialah kualitas audio yang telah mengalami kerusakan cukup berat. Data audio copy positif film tersebut, Rizka melanjutkan, sudah mengalami apa yang diistilahkan washed out. Sedangkan copy data negatif tidak lengkap. Karena itu, hasil restorasi kali ini ialah kombinasi dari semua materi tersebut.

Apa yang diutarakan oleh Rizka memang turut dirasakan ketika WartaTransparansi.com menghadiri dan menyaksikan pemutaran perdana film restorasi tersebut. Pada dasarnya, film “Dr. Samsi” berkisah mengenai konflik keluarga yang bersilang sengkarut terkait hubungan gelap sang tokoh utama dan kemudian menjadi dinamika pada fase kehidupan selanjutnya.

Gaya dialog dan gestur sederhana, serta selipan humor ringan membuat film ini sangat renyah untuk dinikmati, meski telah bergerak melintasi rentang zaman hingga saat ini. Sejumlah diksi dan istilah yang muncul dalam dialog-dialog film tersebut — walau tergolong arkaik, nyatanya masih dapat dikunyah dengan baik oleh penonton penggemar era girl grup Korea masa sekarang, bahkan menjadi sebuah hal unik sekaligus lucu.

Simak satu contoh ketika sosok Sugiat yang sudah dewasa dan menjadi pengacara muda, kembali pulang ke Indonesia dan bertemu dengan dua orang asisten rumah tangga yang pernah merawatnya ketika dia masih kecil: