Oleh Dr. H. Muhtadi, M.HI (FAI UNDAR Jombang)
Setiap menjelang Ramadhan tiba, kaum muslimin di seluruh belahan dunia, bergembira dan bersuka ria, hal itu bisa dilihat setiap pengurus Ta’mir Masjid, hampir dapat dipastikan untuk mengadakan rapat, menyusun rencana program kegiatan selama di bulan yang dianggapnya suci. Jadwal Imam dan bilal shalat tarawih, pengisi kultum setiap setelah jamaah shalat subuh, maupun antara shalat tarawih dan witir ditata, peringatan Nuzulul Qur’an, Imam dan Khatib Shalat ‘Idul Fitri pun dirembuknya.
Kelompok pengajian rutin, pengurus jamiyyah istighathah, yasin, dan tahlil juga meliburkan semenatara rutinannya. Pada tahun ini tepatnya pada hari Rabu tanggal 22-03- 2023, sekitar pukul 19.00 wib, Menteri Agama telah mengumumkan hasil ru’yah jamaiyah (melihat bulan secara bersama-sama), menetapkan bahwa awal Ramadlan tahun ini jatuh pada hari Kamis 1444 H, bertepatan tanggal 23-03-2023 M
Walaupun Ormas Muhammadiyah telah lebih dulu menetapkan awal Ramadlan cukup dengan metode Hisab tanpa menunggu hasil Ru’yah, akan tetapi kaum Nahdliyyin, tetap dengan komitmennya menggunakan Hisab dan Ru’yah, yaitu menunggu hasil Ru’yah oleh para ulama’ dari berbagai Ormas dan Majlis Ulama’ Indonesia yang dikoordiner oleh mentri Agama RI.
Bulan ramadlan dikenal dengan bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah SWT, bulan yang diturunkannya Lailatul Qadar (satu malam lebih baik dari seribu bulan) ini, tidak disia siakan oleh kaum muslimin di Indonesia khususnya. Bahkan tidak aneh jika ada sebagian muslim yang sebelumnya tidak pernah shalat di masjid atau mushalla, begitu ramadlan tiba, ia selalu hadir di setiap aktifitas keagamaan, seperti shalat isya’, shalat tarawih, dan shalat subuh dengan berjamaah di masjid atau mushalla terdekat, mereka mengharapkan keberkahan dan ampunan untk diri dan keluarganya di bulan suci Romadlon ini.
Syaikh Ibnu ‘Athaillah Al-Sakandari dalam kitabya Al-Hikam, mengatakan :
وشروق الأنوارعلى حسب صفاء الأسرار ورود الاءمداد بحسب الاءستعداد
Turunnya pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu, sesuai persiapan hamba-Nya, dan terangnya cahaya Allah, tergantung kejernihan hatinya.
Mutiara Hikmah Syaikh Ibnu Atha’illah itu, jika dikaitkan dengan bagaimana persiapan- persiapan kaum muslimin dalam menyambut kedatangan bulan Ramadlan, cukup menggembirakan dan menjadi tradisi yang harus dipertahankan dan dikembangkan sampai kapanpun. Namun di sisi lain perlu adanya evaluasi ketika sudah masuk pada amaliah yang berkembang di masyarakat. Misalnya shalat isyak dan tarawih yang biasanya di masjid atau mushalla dipenuhi oleh jamaah yang nampak diraut mukanya rasa bahagia di hari-hari atau minggu pertama bulan Ramadlan, akan tetapi kondisi tersebut tidak lagi nampak di minggu2 berikutnya terutama di puluhan hari terakhir. Yang terjadi adalah semakin lama hari yang dilalui, semakin maju barisan jamaah yang ada (jamaah semakin berkurang kurang sekitar sampai 50 %).
Sungguhpun sebagian dari mereka disibukkan dengan persiapan tata ruang tamu, menu jajanan, minuman yang indah, menarik dan menyenangkan pada hari lebaran nanti, tapi sebenarnya (walaupun shalat tarawih hukumnya sunnah), masih bisa dikondisikan dengan tidak meninggalkan atau mengalahkan salah satunya. Patut disyukuri pula adanya tadarus Al-Qur’an di hampir setiap masjid atau mushalla, pagi, siang dan malam, selalu berkumandang bacaan2 Al-Qur’an, masyarakat sekitar dengan tulus dan ikhlas menyisihkan sedikit sedekah makanan ringan dan minuman untuk camilan bapak, ibu, dan para remaja yang tadarus maupun pengajian, yang hal itu tidak terdapat di bulan2 sebelum atau sesudahnya.
Bermula dari kebiasaan Nabi Muhammad sallahu alaihi wasallam, untuk tadarus Al-Qur’an di setiap bulan Ramadlan tiba, “Malaikat Jibil menemui Nabi Muhammad di setiap malam bulan suci Ramadlan untuk tadarus Al-Qur’an” (Riyadlusshalihin, Muttafqun alaihi).
Kata تدارس يتدارس تدارسا تفاعل يتفاعل تفاعلا , mengandung arti “Al-Musyarokah baina Itsnani”
Artinya, Tadarus Al-Qur’an itu, setidaknya melibatkan minimal dua orang, yang satu membaca dan yang lain mendengarkan, sebagaimana tadarusnya Maaikat Jibril dengan Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam. Yang terjadi di masjid atau mushalla kita tempo dulu juga demikian yang satu membaca dan yang lain menyimak, namun belakangan ini sebagaimana kita lihat di sebagian masjid atau mushalla, ada sedikit yang mulai berubah, sekelompok orang di dalam masjid ada satu yang membaca dengan alat pengeras suara, dan yang lain juga membaca sendiri sendiri dengan ayat, surat dan juz yang berdeda, dengan harapan semakin cepat khatam dalam waktu yang singkat.
Hal demikian masih lebih baik jika bacaan Al-Qur’annya sudah bagus, setidaknya sudah pernah khatam 30 juz mengaji di hadapan seorang guru, sehingga kemungkinan adanya kesalahan baca sangatlah kecil. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah satu membaca memakai alat pengeras, dan yang lain ngobrol ke sana kemari di sebelah yang jaraknya berdekatan, sambil makan jajan, minum, dan merokok, sehingga suara bacaan Al-Qur’an yang didengar oleh orang banyak, tercampur dengan suara obrolan yang ada di sebelahnya, dan bahkan terkadang segi kuwalitas bacaannya juga masih sangat rendah. Padahal diantara hikmah tadarus yang terdiri dari dua orang atau minimal ada yang menyima’ adalah jika ada salah baca, agar bisa diketahui dan ada yang membenarkan, sebagaimana tadarus yang dicontohkan Malikat Jibril dengan Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam.
Jika kembali terhadap pesan Syaikh Ibnu ‘Athaillah Al-Sakandari di atas, nampaknya patut untuk direnunngkan bersama, sehingga apa yang kita lakukan terutama persiapan dan ibadah kita di bulan yang super istimewa ini (bulan yang penuh rahmat, maghfirah Allah, dan Lailatul Qadar), benar-benar mendapat pertolongan dan Ridla dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Aamiin Yaa Robbal Aalamin. (*)