Jauh ke belakang Sujitno memaparkan, dokumen yang dimiliki umumnya sudah rapuh dan robek akibat termakan usia. Lantaran, sesuai arsip buku induk siswa dalam lampiran sekolahan itu, paling awal tercatat pada tanggal 18 September Tahun 1942 (zaman Hindia Belanda).
Proses preservasi kuratif arsip tersebut, digambarkan Sujitno, lembaran dokumen yang telah robek, rapuh atau rusak tersebut ditempelkan pada lembaran _japanese paper_ (tisu jepang), yang wujudnya amat sangat tipis dan tidak lengket di kulit.
Kemudian, setelah berkas dan tisu jepang berada pada posisi yang dikehendaki, keduanya direkatkan (disemprot) dengan cairan (lem/perekat) khusus berbahan dasar kimia.
Perekat tersebut, lanjut Sujitno, adalah CMC 1500 CPS (karboksimetil selulosa/carboxymethyl cellulose) yang merupakan zat adiktif sebagai pengental dan penstabil emulsi (butir pembentuk gambar, warna dan sejenisnya)
“Nah, kombinasi keduanya (tisu jepang dan CMC 1500 CPS) inilah yang akhirnya bisa mengembalikan atau memperbaiki dokumen kertas yang rusak, kembali seperti kondisi semula,” beber Sujitno.
Selanjutnya, lembaran dokumen yang sudah diperbaiki itu akan diproses lagi pada tahap akhir. Tahapan ini semua dikerjakan secara komputerisasi yang ditangani ahlinya.
Petugas yang bekerja akan men-scan setiap lembar dokumen. Kemudian, hasilnya disimpan rapi dalam file-file di komputer, dan menjadi sebuah repository yang sewaktu-waktu mudah diakses.
Data fisik dokumen yang sudah diperbaiki (bukan file komputer) tersebut, pungkas Sujitno, diperkirakan akan mampu bertahan ‘hidup’ hingga 50 tahun mendatang. (*)