banner 728x90

Eddy Rumpoko, Diawali Dengan Jagongan Dan Udut

Eddy Rumpoko, Diawali Dengan Jagongan Dan Udut
ILUSTRASI : Eddy Rumpoko

SAAT memulai langkah, dulu, kira-kira lima belas tahun yang lalu, saya merasa tidak ada hal yang membebani diri saya. Karena semuanya diawali dengan jagongan, bertemu dengan warga petani penuh gembira, ceria dan jujur.

Dalam jagongan, rakyat berdemokrasi tanpa sangu, tanpa janji, semua dilakukan ikhlas, saling silaturahmi dan jabat tangan, kemudian ngobrol ringan sambil ngopi, ngudut, sarungan dengan jaket tebal, peci item, masing-masing bawa lampu senter.

Ilmu jagongan itulah yang meresap dalam tubuh selama 10 tahun, bahkan mungkin 15 tahun bersama masyarakat petani. Saya ingat, saat itu gak ada yang perlu berbelit-belit, tanpa ada paksaan bahkan dalam bentuk verbal berupa perintah.

Sebuah wilayah kota yang sebelumnya berstatus kecamatan, dilahirkan pada tahun 2001. Atau tepat berusia 21 tahun pada bulan Oktober lalu. Sesungguhnya rakyat memiliki hak untuk menilai, apa yang sudah dicapai bekas kecamatan itu, selama lima belas tahun belakangan ini.

Alon-alon Kota Wisata Batu misalnya, sekarang bukan sekadar alon-alon tempat bermain anak-anak desa, tetapi tempat bermain anak-anak dari seluruh negeri. Tidak ada sekat antara penduduk desa dengan masyarakat yang datang dari berbagai kota.

Mereka datang tetap untuk jagongan, sambil menikmati kulineran, kemudian sebagian menuju ke Masjid Agung An Nur untuk beribadah. Ada kuliner yang mempunyai dampak ekonomi luar biasa bagi peningkatan ekonomi warga, tapi juga soal urusan dengan Sang Khalik.

Saya tentu tidak akan melupakan, saat saya nyambangi warga di desa-desa, berkumpul di balai desa, atau sering juga berkumpul di rumah warga. Jagongan. Sambil ngopi, celetukan, menyampaikan keluhan dengan guyonan, melakukan kritik dengan banyolan.

Berbicara tentang banyak persoalan, yang tiba-tiba menjadi ilmu sesungguhnya seperti irigasi, pupuk, bibit, sekolah, lapangan kerja, warga yang sakit, mushola atau tempat ibadah lain, yang semuanya itu sebenarnya termasuk jadi bahan program nyata pada pemerintahan.

Ijinkan saya bercerita, saat akan berdiri wisata malam di Desa Oro-Ombo pada tahun 2008, muncul persoalan. Rencana proyek itu menggunakan tanah desa, sehingga pemerintahan di tingkat desa terlibat dan berkomunikasi langsung dengan pihak swata tanpa melibatkan Pemkot.

Gagasannya adalah, karena desa tersebut belum berkembang, maka harus ada yang dijadikan pengait ekonomi agar desa menjadi maju sebagaimana desa-desa lain, yang melibatkan langsung masyarakat.

Hal yang nampaknya sangat sepele juga muncul pada saat itu, yaitu untuk memberi nama tempat wisata itu saja harus melalui diskusi alot. Hampir tiga puluh nama yang diusulkan. Malam itu warga berkumpul di Balai Desa Oro-Ombo. Yang hadir lebih dari seratus orang, malah tidak sedikit yang datang membawa putra-putri mereka, sehingga banyak sempat kaget.