“Bagaimana mungkin seorang Capres akan menghentikan impor garam, impor gula, impor beras dan komoditas lainnya, sementara oligarki ekonomi yang mendesain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari penikmat uang rente dari keuntungan impor?” tanya LaNyalla.
Menurut LaNyalla, bagaimana mungkin pula seorang Capres akan mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Ayat 1, 2 dan 3, bila oligarki ekonomi yang mendesain dan membiayai Capres tersebut adalah penikmat konsesi lahan atas Sumber Daya Alam (SDA) hutan dan tambang? Bagaimana mungkin pula seorang Capres mampu melakukan re-negosiasi kontrak-kontrak yang merugikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti listrik dan energi, sementara oligarki ekonomi yang mendesain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari penikmat dalam kontrak-kontrak tersebut?
“Itulah mengapa DPD RI secara kelembagaan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Karena selain melanggar konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti tertulis di dalam naskah pembukaan konstitusi kita,” ujar LaNyalla.
Bila perjuangan menghapus Presidential Threshold berhasil, maka menurut LaNyalla langkah berikutnya adalah mengembalikan mazhab ekonomi negara ini kepada desain awal yang sudah dirumuskan para pendiri bangsa kita.
LaNyalla berharap para ilmuwan dan kaum terdidik di kampus-kampus aktif melakukan resonansi atas hal ini. “Kesadaran kita sebagai bangsa harus kita gugah, bahwa ada yang salah dari arah perjalanan bangsa ini,” tegas LaNyalla.
LaNyalla menganalogikan bahwa kita tak bisa mengobati penyakit demam hanya dengan memberi obat penurun panas. Karena tanpa menyembuhkan infeksi atau radang sebagai penyebabnya, maka yang kita lakukan hanya akan bersifat kuratif dan karitatif.
“Kita harus mengobati akar persoalannya. Semoga stakeholder bangsa ini, khususnya para elit politik masih memiliki kepedulian terhadap rakyat. Sebab, ada pepatah mengatakan,
bencana terjadi ketika pendapat ilmuwan tidak didengarkan,” demikian LaNyalla.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator asal Lampung, Bustami Zainuddin dan Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifuddin. Hadir pada acara tersebut Rektor Universitas Negeri Jakarta, Profesor Doktor Komaruddin, Wakil Rektor IV, Totok Bintoro, Ketua Umum APENMASI Profesor Hafid Abbas, Para Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, Para Guru Besar dan Peneliti serta Praktisi Pendidikan, Para Pembicara Internasional yakni Juha Christensen dari Finlandia, Jean Bilala dari Afrika Selatan dan Carlos Ferrandiz. (ria)