Reformasi dengan agenda utama membebaskan dari kungkungan demokrasi Dwifungsi ABRI dan membebaskan dari dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kini seperti sekedar reposisi sehingga hanya fokus rekayasa korupsi.
21 Mei 2021 sebuah tonggak peringatan 23 tahun Reformasi. Tetapi justru menjadi singkatan atau kepanjangan dari Repot Fokus Rekayasa Masalah Korupsi.
Terbukti menjelang peringatan Reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ribut soal nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila dalam kubang persyaratan secara administrasi, sehingga borok dan bobrok terbongkar.
KPK sebagai lembaga sakral tiba-tiba terbongkar, di antara penyidik terlibat isu suap menyuap dalam persoalan penyelidikan kasus korupsi. Mengatur perkara dan melemahkan sedemikian rupa.
Tanpa terasa demokrasi dengan harapan melahirkan pemimpin sipil antikorupsi atau antitekanan kekuasaan militer dan kekuasaan lain, berubah menjadi demokrasi duit, kekuasaan uang membeli semua jabatan. Maka semua repot, fokus, rekayasa masalah korupsi. Inilah pengkhianatan atas perjuangan Reformasi enta sampai kapan.
Reformasi yang pasti sudah berubah total, semua warga repot korupsi, semua warga fokus korupsi, semua warga rekayasa masalah korupsi.
Kehidupan berbangsa dan bernegara dari bangun tidur sampai mau tidur, selalu diwarnai kabar soal rekayasa masalah KKN. Keadaan ini lebih berbahaya dibanding zaman Orde Baru.
Diketahui, puncak gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pendukung demokrasi pada akhir dasawarsa 1990-an di Indonesia. Gerakan ini menjadi monumental karena dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada tangal 21 Mei 1998, setelah sekitar 32 tahun menduduki jabatan tersebut.
Gerakan ini mendapatkan momentum saat krisis moneter melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Namun para analis asing menyoroti percepatan gerakan pro-demokrasi setelah Peristiwa 27 Juli 1996 (disebut juga Peristiwa Kudatuli). Pada tahun 1998, Soeharto kembali dipilih oleh MPR untuk menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia untuk ketujuh kalinya, dengan B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Sejumlah pihak, termasuk mahasiswa, menuntut adanya Reformasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Agenda Reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa hal, seperti mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, melaksanakan amendemen UUD 1945, menghapus dwifungsi ABRI, melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya, menegakkan supremasi hukum, dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kompleks Parlemen Republik Indonesia dan gedung-gedung DPRD di daerah menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia.
Organisasi mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara lain Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) dan Forum Kota. Meskipun salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut lengsernya Soeharto berhasil, tetapi beberapa pihak menilai agenda reformasi belum tercapai.
Gerakan mahasiswa ini mencakup tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswa yang dianggap sebagai “Pahlawan Reformasi”. Setelah Soeharto mundur, kekerasan terhadap rakyat dan mahasiswa masih terjadi, yang antara lain mengakibatkan tragedi Semanggi yang berlangsung hingga dua kali. Turunnya Soeharto memulai babak baru dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu Era Reformasi. Meskipun demikian, masih ada unjuk rasa untuk menuntut keadilan akibat pelanggaran hak asasi manusia selama periode gerakan mahasiswa 1998, termasuk hilangnya keberadaan mahasiswa dan kematian mahasiswa oleh aparat pemerintah.
Repot Fokus Rekayasa Masalah Korupsi, merusak sendi-sendi demokrasi, sendi-sendi penegakkan hukum, dan sendi-sendi transparansi keuangan rakyat menjadi hak kuasa pejabat. Inilah bahaya budaya rekayasa korupsi jika sudah menghancurkan sendi-sendi kejujuran, kebenaran, keadilan menjadi “rekayasa-rekayasa” dalam berbagai skenario.