Jumat, 29 Maret 2024
25 C
Surabaya
More
    OpiniTajukSarmuji Sarat Falsafah Jawa, Golkar Semakin Wibawa

    Sarmuji Sarat Falsafah Jawa, Golkar Semakin Wibawa

    Oleh Djoko Tetuko, Pemimpin Redaksi WartaTransparansi

    Partai Golongan Karya (Partai Golkar) sebelumnya bernama Golongan Karya dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah Partai Politik yang lahir dari rahim orde baru, yang sejak awal memiliki sentuhan politik yang sarat dengan falsafah falsafah jawa-nya. Sentuhan ini yang diharapkan oleh pendiri partai akan menunai wibawa partai.

    Namun belakangan, terutama sejak era reformas menggelinding falsafah falsafah jawa itu mulai redup, tak terdengar nyaring lagi diucapkan oleh petinggi partai Golkar.

    Padahal Presiden RI ke-2 Soeharto, dengan penuh kharismatik membangun Pemerintahan Orde Baru, melalui pemilihan umum (Pemilu) 1971 dengan 10 kontestan parpol dari euforia multipartai pada Pemilu 1955, Pemilu pertama sejak kemedekaan RI. Nuansa politik Jawa dan sentuhan strategis penguatan partai dengan pola Jawa.

    Diawal Orde Baru, ketika sila ke-4 Pancasila mengendalikan demokrasi dari-oleh-untuk rakyat dengan menguatkan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

    Maka pemimpin di pusat maupun di daerah, adalah junjungan tertinggi dan dihormati juga dipatuhi fatwa dan keputusannya.

    Di Jawa Timur kediaman (almarhum) Moh. Said, ketua Golkar Jatim dan tokoh sentral seperti sebuah kerajaan menjadi sentral hampir semua keputusan pemerintah di seluruh wilayah Jatim. Sehingga Jl Progo menjadi perumpamaan seperti Jl Cendana Jakarta.

    Di pusat sudah bukan rahasia umum lagi, ketika itu Jl Cendana menjadi sentral pemerintahan dan pengambilan kebijakan partai politik secara nasional dengan Golkar sebagai single mayority. Dan dua partai Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, sama-sama menunggu restu dari sentral kekuasaan model Jawa itu.

    M. Sarmuji, Ketua Golkar Jatim dengan memberikan catatan hariannya sebulan penuh selama bulan puasa yang tayangkan di akun Youtube Golkar Jatim TV menjelang berbuka puasa.

    Ada keunikan dan kekhasan tersendiri dalam catatan harian yang dibawakan M. Sarmuji tersebut, yaitu sarat falsafah Jawa yang dipadukan dengan nilai-nilai keislaman. Ringan karena sudah menjadi ungkapan sehari-hari, tetapi memiliki kedalaman makna dalam implementasi. Ada juga topik tentang ajaran-ajaran Jawa yang sudah lama tidak terdengar.

    Sarmuji memilih memadukan Nilai Jawa dan Nilai Keislaman dalam menangkap fenomena kekinian yang sedang terjadi di masyarakat modern.

    Fenomena-fenomena yang terjadi akhir-akhir ini sudah ditangkap oleh leluhur orang Jawa lalu muncul petuah, ungkapan, kata bijak dalam tembang-tembang yang dinyanyikan seperti dandhanggulo, asmarandhana, pangkur dan sebagainya.

    Ketua Golkar Jatim M. Sarmuji menyatakan pilihan mengangkat falsafah Jawa sebagai materi kultumnya untuk menegaskan bahwa Islam juga ramah terhadap kearifan lokal, termasuk kearifan lokal dalam hal nilai-nilai yang diyakini masyarakat yang selama ini sudah berkembang di tengah masyarakat.

    Anggota DPR RI Dapil VII Jawa Timur ini, justru dengan mengangkat falsafah Jawa dan memberikan penguatan perspektif islam itu menunjukkan bahwa ada universalitas nilai-nilai Jawa dan Islam. Keduanya bisa saling menguatkan.

    Salah satu catatan harian ke-25, M. Sarmuji mengangkat tema “Wutah Wutuh (tumpah tapi utuh) yang bermakna apapun yang didermakan dan dibelanjakan kepada orang lain, maka akan dikembalikan utuh seperti yang didermakan bahkan dilebihkan oleh Allah SWT.

    “Kita menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari orang yang rajin berderma tidak menjadi miskin, bahkan kehidupannya menjadi lebih berkah dan hartanya justru bertambah,” ujarnya.

    Sarmuji memperkuat ungkapan Wutah Wutuh ini dengan mengutip firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 272: _“wa maa tunfiquu min khairin yuwaffa ilaikum wa antum laa tuzlamuun”_ yang artinya Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizhalimi (dirugikan).

    M. Sarmuji memang belum teruji selama memimpin Golkar Jatim, tapi memulai sentuhan dengan penguatan falsafah Jawa dengan Islam, maka akan menjadi lokomotif perubahan ke depan bahwa sentuhan akan menuai hasil Partai Golkar akan semakin “mekar” walau masih belum mengakar.

    Sebuah catatan falsafah Jawa dan Islam, merupakan keberanian Sarmuji untuk mengulang kembali kejayaan Golkar dengan begitu menjaga “tindak, tanduk, tunduk” dalam mengemban amanat menjalan partai politik ala Jawa.

    Sebagai catatan harian ke-25 Sarmuji mengangkat etos keberanian masyarakat Jawa dalam ungkapan _Sadhumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Pati_ (sepegangan dahi, seukuran jari di bumi akan dibela sampai mati).

    Ungkapan ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa meskipun halus perangainya, tetapi jika berhubungan dengan mempertahankan hak dan kebenaran, maka akan dipertahankan hingga nyawa sebagai taruhannya.

    Tentu saja itu hanya sebuah ungkapan, tetapi terkandung sebuah falsafah bahwa dalam berpartai akan senantiasai menenun sejarah dengan pandai-pandai menjaga marwah atau martabat pemilih di atas segala-galanya. Dan hal itu mampu dilakukan maka tinggal menunggu hasil waktu, intelektual modern Golkar dipadukan dengan falsafah Jawa dan Islam di era digital, akan menjadi kekuatan tersendiri.

    Seperti kelimat pendek ini, “Nrimo ing pandum”, falsafah Jawa ini bermakna menerima segala pemberian. Dapat ikhlas dalam menghadapi segala hal yang terjadi khususnya agar tidak menjadi orang yang serakah dan menginginkan hak milik orang lain.

    Sarmuji memulai falsafah Jawa itu artinya memulia mengembalikan perjuangan Sekber Golkar dalam menyelamatkan bangsa dan negara dalam berbagai strategi parpol dengan (tentu saja) menggabungkan “intelektual-Jawa-Islam” dalam gerakan kebangsaan. Dan jika berhasil akan membuat Golkar kembali mempunyai wibawa dalam berkiprah. (*)

    Berita Terkait

    Jangan Lewatkan