Oleh : Prof.Dr.H. Tajul Ridjal, Mpd
Khotbah Jum’at terakhir di bulan Sa’ban, sebagian besar dari para khatib mengingatkan kepada para jamaah tentang akan hadirnya bulan yang Agung, bulan yang penuh ampunan, yang penuh Rahmah dan Berkah; yakni bulan Ramadlan.
Mereka juga mengajak kepada para da’i melalui doa, dengan harapan agar diberi kekuatan dan kesehatan oleh Allah SWT, sehingga mampu menjalankan dengan sempurna Rukun Islam yang ketiga ini.
Dalam doanya tersebut, mereka juga berharap agar diberi kesempatan dan kemampuan bisa bertemu kembali dengan Ramadlan tahun berikutnya.
Dalam khotbahnya, Sang khatib menyampaikan salah satu Hadits Nabi — entah ini hadits yang kedudukannya kuat atau lemah — bahwa Nabi bersabda (yang artinya); “Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”.
Tulisan ini tidak dalam upaya menilai hadis tersebut sebagai hadis dhaif, maudhu, atau bahkan hadis yang statusnya laa ashla lahu. Saya hanya menyampaikan bahwa hadis tentang “meluapkan kegembiraan menyambut kehadiran Ramadlan” telah disampaikan oleh para khatib. Oleh karena itu, tulisan ini lebih mengedepankan tinjauan secara sosio-antropologis, bukannya telaah secara teologis.
Berkenaan dengan kesiapan menjelang Ramadlan, hampir semua warga jamaah Jum’at menerima dengan tulus apa yang disampaikan oleh para khatib tersebut dari mimbarnya. Bukan hanya para jamaah Jumat, hampir semua umat Islam — terutama di perdesaan — menerima dengan penuh keyakinan, mantab dan bersemangat terhadap kabar yang menggembirakan dan menjanjikan tersebut.
Penerimaan mereka bukan hanya dalam percakapan, tetapi dibuktikannya dalam perilaku dan tindakan. Tentunya sesuai cara mereka dan berdasar pada pemahaman mereka.
Sehubungan dengan hal itu, tulisan ini berusaha untuk menyajikan — meskipun tidak utuh — reaksi luapan kegembiraan menyambut hadirnya Ramadlan oleh warga masyarakat muslim, terutama di perdesaan Jawa. Dalam pandangan mereka, Ramadlan adalah bulan yang sangat dinanti-nantikan oleh umat Islam.
Meskipun, sikap penantian masing-masing umat menunjukkan adanya keragaman. Pada umat tertentu, penantian itu disikapi dengan kegembiraan dan rasa suka cita secara seutuhnya. Pada umat yang lain, penantian itu disikapi dengan rasa kegembiraan, tetapi masih diselimuti rasa kekhawatiran; khawatir karena pertimbangan kondisi fisik atau ekonomi. Ada juga umat yang gembira, tapi tertahan karena adanya rasa ketakutan, rasa takut yang dibangunnya sendiri: misal, puasanya sia-sia karena pahalanya tidak diterima.
Sedangkan umat yang lain menyikapi hadirnya bulan Ramadlan sebagai menghadapi beban baru dan pengekangan. Atau, mungkin masih ada berbagai macam sikap lainnya yang dimiliki oleh umat Islam sebagai cara mereka menyikapi hadirnya bulan yang penuh berkah ini. Itulah kenyataan beragam reaksi umat dalam menyambut hadirnya Bulan Ramadlan.
Beragam sikap umat Islam dalam menyambut hadirnya bulan Ramadlan: gembira, suka cita, khawatir, takut, beban, pengekangan dan, meskipun tidak banyak, ada juga yang bersikap masa bodoh. Namun, hal yang menarik dari berbagai macam sikap tersebut, semuanya didasari rasa gembira. Hal ini bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, rasa gembira yang menjadi dasar tersebut, meskipun samar-samar karena tertutup sikap antagonisnya, akan muncul ke permukaan ketika hari Lebaran. Kegembiraan umat Islam yang selalu stabil, mulai dari menjelang hadirnya Ramadlan hingga kepergiannya, adalah kegembiraan yang ditunjukkan oleh anak-anak.
Pada anak-anak, luapan kegembiraaanya sesuai dengan dunia anak. Mereka mempersiapkan diri menyambut Ramadlan dengan berbagai rencana aktivitas (tarawih, ronda sahur, main petasan, mencari takjil, dan sebagainya) dan peralatan permainan (kentongan, kendang, petasan, meriam bambu, dan sebagainya).
Kegembiraan mereka begitu tulus, ihlas, dan murni hanya menyambut dan mengisi Ramadlan; meskipun berupa berbagai aktivtas permainan. Mereka juga berlomba-lomba menjalankan puasa dengan penuh semangat dan bangga; meskipun dilandasi ajang kompetisi dan solidaritas antar teman. Bahkan, mereka dalam mendirikan jamaah shalat Tarawih pun disemangati penuh keceriaan, tidak menampakkan wajah lelah, enerjik; meskipun diselingi guyonan, dan tidak khusyu’ (menurut panilaian ustadz). Sebuah gambaran gemeinschaft yang dilandasi solidaritas mekanik.
Dimulai dari dunia anak-anak, berikut ini disampaikan beragam reaksi kegembiraan umat, dalam menyikapi hadirnya bulan suci Ramadlan. Sekali lagi, kategorisasi ini tidak berdasar pada telaah teologis, tetapi hanya berupa abstraksi secara sosio-antropologis atas perilaku dan tindakan masyarakat muslim — terutama di perdesaan Jawa.
Mereka yang masuk dalam golongan ini mampu meluapkan kegembiraan secara tulus sebagaimana ketulusan kegembiraan anak-anak. Mereka juga gembira, bangga dan semangat untuk mengisi Ramadlan, sebagaimana kegembiraan anak-anak mengisi Ramadlan dengan berbagai permainan. Namun, permainan para orang tua golongan ini dalam mengisi untuk meramaikan Ramadlan tidak dalam dunia anak. Tadarus, tarawih berjamaah, shadaqah, pengajian, shalat malam, dan amalan-amalan ibadah lainnya sebagai aktivitas-aktivitas yang dipilihnya.
Menjalankan berbagai amalan-amalan ibadah di bulan Ramadlan itulah yang memberikan kepusasan dan kegembiraan golongan ini. Mereka telah mampu membangun self-reinforcement, demikian kata Skinner penganut aliran behaviorisme sosial.
Mereka yang masuk dalam golongan kedua ini mampu meluapkan kegembiraan secara tulus sebagaimana ketulusan kegembiraan golongan pertama.
Mereka gembira, bangga dan semangat untuk mengisi Ramadlan, sebagaimana kegembiraan anak-anak mengisi Ramadlan dengan berbagai permainan. Ada perbedaan permainan kesenangan golongan ini dengan golongan pertama.
Meskipun, dalam hal beribadah golongan ini tidak jauh beda dengan golongan pertama, tetapi mereka dalam meraih kegembiraan Ramadlan masih diselingi melakukan permainan dunia anak-anak. Oleh karena itu, ketulusan beribadah gogongan ini bergerak diantara upaya mengejar social/ external reinforcement dan gigih membangun self-reinforcement.
Mereka yang masuk golongan ketiga, luapan kegembiraannya mirip sebuah kendang. Yakni, menampilkan luapan kegembiraan hanya pada awal dan akhir Ramadlan. Sehingga, kegembiraan yang disertai dengan menjalankan amalan-amalan ibadah di bulan Ramadlan juga mirip seperti kendang. Adapun di hari-hari lainnya, mereka kembali disibukkan dengan berbagai aktivitas sebagaimana yang dilakukannya di luar Ramadlan.
Dengan pilihan tindakan seperti ini, mereka beranggapan telah mampu menyelamatkan eksistensi personal dan sosialnya. Dengan terlibat dalam sorak gempita menyambut hadirnya Ramadlan dan menghiasi keindahan di akhir Ramadlan, setidaknya mereka menunjukkan kepada masyarakat bahwa dirinya adalah bagian dari kultur masyarakatnya. Pilihan menyelamatkan eksistensi sosialnya telah diraihnya. Selanjutnya, mereka bebas menyelamatkan eksistensi personalnya. Tindakannya mirip denial of injury dalam netralisasi norma.
Pada golongan keempat, pintu keluarnya luapan kegembiraan untuk menyambut hadirnya bulan Ramadlan tersumbat sangat rapat. Tidak ada kegembiraan menyambut hadirnya bulan Ramadlan dalam dunia mereka.
Bagi mereka, memasuki bulan Ramadlan tidak jauh beda dengan memasuki bulan-bulan lainnya. Sehingga, mereka bersikap biasa-biasa dan wajar-wajar saja sebagaimana yang mereka lakukan setiap harinya mulai dari awal hingga penghujung bulan Ramadlan. Hal yang mengherankan adalah ternyata mereka golongan keempat ini masih memiliki kegembiraan yang terkait dengan Ramadlan. Sumbatan pintu luapan kegembiraan itu terlepas pada menjelang akhir Ramadlan, masa ketika limpahan Rahmat dan Berkah Ramadlan berpamitan. Oleh karena itu, luapan kegembiraan mereka ditunjukkan ketika Ramadlan berakhir. Aneka pernik keindahan duniawi, pesta pora, pamer kemewahan, dan sejenisnya.
Itulah perilaku dan tindakan golongan ini dalam merayakan kepergian limpahan Rahmat dan Berkah Ramadlan. Padahal, ketika limpahan Rahmat dan Berkah Ramadlan menghampirinya, mereka tidak mempedulikannya.
Adapun golongan kelima merupakan varian golongan keempat, tetapi jauh lebih dahsyat. Pintu luapan kegembiraan tersumbat amat sangat rapat. Sama dengan golongan keempat, luapan kegembiraan mereka menyembur pada menjelang akhir, atau bahkan setelah Ramadlan berakhir. Karena sumbatannya amat sangat rapat, maka luapan kegembiraannya menyembur disertai ledakan. Oleh karena itu, mereka yang termasuk dalam golongan kelima ini tega, atau terpaksa melakukan tindakan kejahatan atau perilaku kriminal hanya untuk bisa melampiaskan kegembiraan merayakan lepasnya bulan Ramadlan.
Biasanya, tindakan kejahatan mereka didorong oleh, mengutip pendapat Merton, altruistic wish, yang biasanya tuntutan keluarganya agar bisa bersenang-senang seperti warga masyarakat lainnya.
Kita berupaya agar mampu menjangkau golongan yang pertama, meskipun hanya selama satu atau dua hari, tidak secara penuh dalam sebulan. Karena, menjadi golongan pertama sepenuhnya selama Ramadlan kiranya hanya orang-orang pilihan yang memang telah diberi kelebihan oleh Allah SWT.
Kalaupun kita tidak mampu menjangkau golongan pertama, cukup pada level golongan kedua. Jangan sampai kita tergelincir masuk golongan ketiga, apalagi golongan keempat dan kelima. Karena, tiga golongan yang terakhir ini bukanlah golongan yang dikehendaki, terutama dalam pandangan agama. (*)
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Sospol Universitas Darul’ulum Jombang