Oleh: HS. Makin Rahmat
SEJAK Virus Corona menyebar ke bumi dan menjadi pertimbangan dalam segala hajat manusia, termasuk rujukan beribadah dan menghamba kepada Allah Azza wajalla, Dzat Penguasa alam semesta, posisi manusia sebagai Khalifah (pemimpin), mulai goyah.
Berbagai aktifitas yang dituding bisa menjadi penyebab penyebaran Covid-19 dihentikan. Tempat ibadah ditutup sementara, kalau pun ada kegiatan keagamaan harus mengikuti protokol kesehatan, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau memakai handsanitizer, menjaga jarak.
Bahkan, beredar puisi dengan mancatut Kiai Khos Flamboyan, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dengan judul: “Bubarnya Agama”. Walaupun ada bantahan dari putri beliau, bahwa puisi penuh sindiran sosial itu hoaks, memang kondisi seperti itulah yang terjadi.
Perintah dalam shalat untuk merapatkan shaf harus berjarak, bahkan beberapa tempat ibadah pasang bendera putih (menyerah) daripada kena razia Tim Gugus Tugas (Gusgas) Covid-19. Ada jam malam, menutupan wilayah skala tertentu untuk membatasi penyebaran virus Covid-19 sebagai wabah menakutkan.
Pelaksanaan ibadah umroh pun ditutup, pelaksanaan haji tidak menentu. Bahkan beberapa Negara memilih lockdown setelah kuantitas dan penyebaran virus corona sulit dikendalikan.
Lantas bagaimana dengan Ramadan 1442 (2021) tahun ini? Alhamdulillah, sejak vaksin Covid-19 ditemukan dan mendapatkan legalisasi dari WHO, kabut tebal membatasi gerak social masyarakat untuk meningakatkan taraf kehidupan mulai new normal. Masyarakat tang telah mengikuti vaksin hingga dua kali, mulai mendapatkan kemudahan, termasuk kemungkinan bisa ibadah ke tanah suci.
Walaupun sudah ada kepastian dari pemerintah memutuskan tidak ada mudik (silaturahmi) pasca Ramadan, waktunya kita berbenah dalam kesalehan dan keteladanan sosial.
Ramadan harus dijadikan momentum mengembalikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) manusia dalam menghamba kepada Allah, dan kesetaraan sosial sesama manusia dalam mewujudkan pri kehidupan yang harmonis didasari kasih sayang dan etika akhlak dalam pergaulan sosial.
Rujukan dalam pergaulan dan etika beribadah, para ulama tentu berkiblat dan sepakat dengan tata cara dan taulandan dari baginda Rasulullah SAW. Beliau dalam mengenal dinnullah (agama Allah) selalu bersifat mengajak, memberi tauladan (contoh) dan mendoakan.
Muhammad bin Abdullah al-Amin menjadi contoh, karena kebagusan akhlak dan penuh santun dalam menyampaikan keimanan, ketauhidan dan kehidupan sosial dalam berbagai aspek termasuk bulan suci Ramadan.
Sebelum pemahaman Islam dan pengenalan terhadap sang Khaliq (Pencipta), Rasulullah diutus oleh Allah SWT memperbaiki akhlak manusia, sebagaimana hadits beliau: “Sesungguhnya Aku (Rasulullah) diutus ke dunia ini, tiada lain untuk memperbaiki peradaban manusia (akhakul karimah).” Inilah peran penting yang harus diwujudkan oleh manusia, khususnya momentun di Ramadan mubarok.
Mengapa? Pondasi keyakinan dengan bersahadat (kesaksian) tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasulullah, tidak terbantahkan. Perintah salat lima waktu pun menjadi doktrin bagi umat muslim dalam keseharian, dan menjalankan puasa Ramadan selalu datang tiap tahun disertai berbagai stimulus dan motivasi, amalan yang sunnah menjadi wajib, prilaku wajib ditingkatkan derajat hingga tujuh puluh, bahkan orang tidur pun dianggap ibadah.
Sesuatu yang tidak ditemui di luar Ramadan, termasuk malam lailatul Qadr, malam lebih mulia dari seribu bulan.
Nah, kesalehan sosial inilah belum tergarap dengan konsisten. Siapa pun pasti menginginkan perubahan dan perbaikan dalam segala hal, termasuk sosial dan ekonomi, apalagi di kondisi yang lagi terpuruk, akibat pandemi.
Padahal, Islam telah mengajari proses kehidupan yang standar dan sangat kompeten.
Sayangnya, banyak umat terlena bahwa perubahan itu diraih manakala ada kesediaan untuk menerima informasi, pengetahuan baru, nasehat, dan sejenisnya. Namun pada kenyataannya belum tentu orang mau diberi informasi, apalagi kearifan dan strategi untuk perbaikan.
Perjuangan para wali dalam berdakwah, merupakan proses panjang dalam perjalanan hidup manusia untuk memperoleh ketenangan, keteduhan dan bimbingan lahir-batin sehingga masyarakat yang awalnya animisme, dan sebagian mengenal agama selain Islam, mulai ingin menyelami keberagaman Islam yang Salamatan fiddin waddunya wal Akhira (membimbing keselataman di dunia akhirat), dan Islam yang rahmatal lil ‘alamiin. Inilah bentuk kesalehan yang terabaikan. Kita terkadang terlalu individu dan melupakan keberkahan berawal dari lingkungan di sekitar kita.
Saatnya kita merenungkan diri, mengapa ada istilah Gapura (pintu gerbang) masuk kampung, desa idiom dengan harapan pintu ampunan dari Allah SWT setelah melakukan perbuatan di luar yang tidak bisa lepas dari dosa dan salah. Gapura sendiri diartikan Ghofur (Allah Maha Pengampun).
Begitu pula, budaya adanya megengan dengan kebiasaan berdoa dan ater-ater (berbagi makanan termasuk apem), dan berbagai kebiasaan yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan (ketauhidan) secara perlahan bisa dibimbing. Penganan apem (bahasa Arab afwan = ampunan) dari tepung beras putih mempunyai filosofi budi pekerti manusia supaya tetap terjaga kesucian dengan selalu memohon ampunan kepada Rabb.
Belum lagi, syair-syair dakwah para sunan, semua dengan lirik-lirik penuh wujud meng-Agungkan nama Tuhan. Ilir-ilir, seluku-seluku batok, dan lainnya merupakan realita dakwah yang di era sekarang harus dimodifikasi, tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan dan kesantunan.
Lantas tantangan umat sekarang bagaimana? Seharusnya umat Islam harus berada di garda depan mempelopori berbagai perubahan menjadi embrio positif membangun citra kebenaran, bahwa Islam itu memang rahmatal lil ‘alamiin.
Dalam menghadapi segala hal prilaku kehidupan, termasuk kondisi pandemi, kita tidak boleh lengah dan pasrah, karena Baginda Rasulullah merupakan sosok pemimpin yang familier, aktif, dinamis dan melekat sifat-sifat kenabian yang selalu mendapat bimbingan Allah.
Jadi, tantangan ke depan, pemimpin Islam saat ini harus mampu membangun peradaban manusia sebagaimana tapak tilas pejuang pendahulu mumpuni di sektor perekonomian, perdagangan, dan perniagaan sehingga sistem halal-riba menjadi rujukan dalam berbisnis.
Artinya, proses ikhtiar (bekerja), penghasilan, dan kemampuan berbagi dengan sesama melalui amal jariyah, infaq, sadaqoh, dan zakat terus mengalir karena ada sinergi.
Jiwa social harus tetap dijadikan benih dalam menumbuhsuburkan kesosialan hati umat, termasuk peduli dengan sesama, seperti istiqomah donor darah, menyantuni fakir-miskin, peduli anak yatim, dan dorongan selalu peduli terhadap kesulitan yang lagi terkena ujian dan musibah.
Kalau umat Islam hanya terpaku dengan kebutuhan indivisu, maka akan sulit membangun kesalahean sosial. Semua harus dimulai dari diri kita sendiri, kemudian elemen masyarakat Islam harus kompak membentuk jaringan nirlaba dan bisnis syariah. Kita harus yakin, Ramadan inilah sarana yang sangat tepat untuk mengembleng jiwa dan prilaku solidaritas sosial. (mat)
HS. Makin Rahmat – Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jatim/ Direktur LBH Martim/ Jurnalis Senior