BALI memang dikenal sebagai destinasi wisata dunia. Mungkin sebagian ‘pelancong’ mancanegara dan lokal beranggapan bahwa ‘pulau dewata’ itu ibarat ‘surga’. Sebab, jika berbicara tentang keindahan Bali, seakan tak akan pernah habisnya. Tak heran, jika di setiap gerak pembangunannya, pemerintah setempat akan selalu berpikir soal peluang untuk sektor wisata.
Memiliki luas 5.780 km2 dan jumlah penduduk mencapai 4,36 juta jiwa (2019) atau hanya sekitar 1,63% dari total penduduk Indonesia sebanyak 269 juta jiwa, pulau Bali dikenal memiliki pegunungan nan hijau, terasering sawah yang unik, pantai yang indah, keunikan pura dan banyak lagi tempat tujuan tempat wisata.
Terlepas bahwa ibu kotanya (Denpasar) nomor 4 dari 10 besar tingkat polusi udara terburuk se dunia (nomor 1 Jakarta) seperti yang pernah dirilis Greenpeace Indonesia pada 2018. Atau problem lainnya yang biasa dikeluhkan wisatawan, seperti masalah kemacetan karena makin banyaknya kendaraan bermotor yang tak sebanding dengan pertumbuhan jalan.
Keberhasilan Bali dalam mengelola sektor wisata, tak jarang menjadi jujugan kota-kota lain di Indonesia untuk belajar, dan atau sekedar studi tiru.
Dari sekian banyak destinasi wisata yang bisa dinikmati di Bali, Desa Wisata Penglipuran (sebelumnya disebut desa adat) menjadi salah satu kebanggan pemerintah daerah.
Nama Desa Penglipuran berasal dari kata pengeling dan pura, bermakna mengingat tempat suci (para leluhur). Karena itu, tempat ini masih sangat menjaga falsafah kehidupan adat yang harus dilestarikan seluruh warga desa tersebut. Sebagai perwujudan upaya melestarikan budaya yang dilakukan oleh masyarakat Bali.
Sejak resmi menjadi desa wisata budaya di tahun 1993, Penglipuran pada 2016 terpilih sebagai desa terbersih ke tiga dunia versi majalah internasional Boombastic. Kalah dari Desa Giethoorn di Belanda dan Desa Mawlynnong di India. Di tahun 2017, mendapat penghargaan ISTA (Indonesia Sustainable Tourism Award) dengan peringkat terbaik untuk kategori pelestarian budaya.
Tiga Ciri Khas
Dengan total luas 112 hektar yang terdiri dari 12 hektar area rumah penduduk, 49 hektar ladang, dan 37 hektar hutan bambu, Desa Penglipuran dihuni 1.038 jiwa dari 240 KK.
Lokasinya berada di Desa Kubu, Kabupaten Bangli, Bali. Rutenya searah dengan tempat wisata Kintamani dan Ubud. Jarak dari Kuta ke Penglipuran, sekitar 53 km, dengan waktu tempuh sekitar 90 menit. Kalau tidak macet.
Terletak di kaki Gunung Batur, di ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut, Desa Penglipuran pun memiliki udara sejuk. Segala jenis kendaraan bermotor dilarang memasuki desa tersebut, sehingga jauh dari polusi.
Penglipuran memiliki keunikan sebuah desa yang masih memperlihatkan suasana Bali asli. Belum banyak mendapatkan pengaruh modern, karena tata ruang yang rapi, dan kebersihan yang sealu terjaga.
Salah satu contoh keunikan, bentuk dari tiap-tiap rumah penduduk yang hampir sama. Saat memasuki pekarangan warga, kita akan melihat tiga bangunan yang menjadi ciri khas, yakni Angkul-angkul (pintu masuk pekarangan), Bale Saka Enem, dan paon (dapur).
Warga setempat berkomitmen menjaga dan melestarikan bangunan yang notabene berbahan bambu tersebut. Jika ada perbaikan atau renovasi, maka masing-masing pekarangan mendapat subsidi bersumber dari hasil retribusi kunjungan wisatawan.
Ketiga bangunan itu (Angkul-angkul, Bale Saka Enem, dan paon), menurut pengelola objek wisata Desa Penglipuran, I Nengah Moneng, merupakan bangunan tradisional yang menjadi ciri khas desa Penglipuran.
Tidak hanya bentuk rumah yang sama, pembagian dari masing-masing tata ruang rumah juga sama, seperti kamar tidur dan dapur. Cat tembok pintu gerbang yang digunakan bukan cat tembok yang biasanya kita kenal, melainkan menggunakan cat berbahan dasar dari tanah liat.
Meski dikenal dengan keunikannya, ternyata ada sejumlah bangunan modern di desa Penglipuran. Mengomentari itu, I Nengah Moneng beralasan, bahwa sebelum menjadi objek wisata, masing-masing pekarangan sudah ada bangunan modernnya.
Menurutnya, sejauh ini memang tidak ada pembatasan pembangunan rumah modern. Namun sudah menjadi kesadaran dan kesepakatan bahwa bangunan modern wajib menyertakan arsitektur Bali. Menyesuaikan dengan bangunan tradisional. Pembangunannya, harus lebih menonjolkan bangunan tradisional yang menjadi ciri khas dan daya tarik wisatawan.
Budaya Penduduk
Budaya pengelompokan dari tata ruang desa sangat terlihat di sini. Di bagian utara dan letaknya lebih tinggi dari rumah penduduk terdapat pura Desa yang disebut pura Penataran.