Pendakian kedua, saya lakukan usai salat Asar, dengan harapan bisa sampai di atas Jabal Nur mendekati Maghrib, tentu bisa menikmati gemerlap cahaya matahari yang terus tersenyum sebelum tenggelam dengan warna emasnya. Suasana tambah bermakna, ternyata reka Tribroto yang dulu pernah satu perusahaan media, yaitu Harian Memorandum dengan penulis punya nadar, mengundul rambutnya.
Usai salat maghrib, saya didampingi muthowwib Ustadz Muhammad Tholab Wahyun, asal Lombok, NTB turun dan sepakat menyatakan rasa puas, bisa mendaki gunung yang tetap kokoh dengan kegagahan dan penuh dengan misteri Ilahi, karena menjadi saksi peradaban manusia sebagai umat Muhammad yang menerima warisan maha luhur dan penuh dengan petunjuk kebenaran, mukjizat Al-quran sebagai kalam Allah Azza wajalla.
Saya sangat setuju, kalau perjalanan ibadah haji dan umrah bukan hanya sekedar menyempurnakan prosesi atau ritual sebagaimana menyelesaikan rukun, wajib sunnah yang ditentukan. Tapi, ada tempat yang punya nilai sejarah dan layak sebagai wisata religius. Salah satunya adalah dengan melakukan ziarah, satu tempat ziarah yang paling diburu para jamaah haji atau mereka yang berumrah adalah Gua Hira yang terletak di Jabal Nur (Gunung Cahaya).
walau titian dan tatapan jalan tangga setapak sudah disusun oleh mukimin setempat, untuk menuju puncak gunung, seseorang rata-rata memerlukan waktu selama satu jam bahkan lebih dari dasar gunung. Medannya cukup sulit karena tidak ada titian tangga. Para peziarah harus mendaki melewati batu-batu terjal. Jalan bertangga hanya ditemukan setelah tiga perempat perjalanan. Namun menjelang puncak gunung, medannya sedikit ringan, peziarah bisa mendaki dengan santai.
Begitu tiba di depan pintu gua, terdapat tulisan Arab ‘Ghor Hira’ dengan cat warna merah. Di atas tulisan itu terdapat tulisan dua ayat pertama Surat Al-Alaq dengan cat warna hijau. Gua Hira terletak persis di samping kiri tulisan tersebut. Panjang gua tersebut sendiri sekitar tiga meter dengan lebar sekitar satu setengah meter, dan ketinggian sekitar dua meter. Dengan luas dimensi seperti itu, gua ini hanya cukup digunakan untuk shalat dua orang. Di bagian kanan gua terdapat teras dari batu yang hanya cukup digunakan untuk shalat dalam keadaan duduk.
Dengan kondisi seperti itu, Gua Hira merupakan tempat yang ideal di Makkah bagi Muhammad untuk bertahannuts. Suasananya tenang, dan jauh dari keriuhan kota Makkah kala itu. Dan tentu saja, Muhammad telah mempertimbangkan dengan matang pemilihan gua ini sebagai tempatnya ‘mencari’ Tuhan. Beliau juga telah memperbincangkan tempat itu dengan istrinya, Khadijah binti Khuwailid. Oleh sebab itu, terkadang di malam yang pekat, Khadijah beberapa kali mengunjungi Muhammad. Dapat dibayangkan bagaimana beratnya medan yang ditempuh Khadijah Al-Kubra saat itu, ketika mengunjungi suaminya di Gua Hira.
Saking vitalnya peran Gua Hira dalam sejarah Islam, salah seorang pakar sejarah Islam asal Mesir, Husain Mu’nis, mengatakan Gua Hira layak disebut sebagai masjid pertama dalam sejarah Islam. “Gua Hira, tak pelak lagi, merupakan masjid yang pertama-tama dalam Islam. Di gua itu Rasulullah melaksanakan shalat, bertahannuts, dan menyembah Allah sebelum beliau menerima wahyu,” ujarnya.
Terlepas dari pendapat Husain Mu’nis, saya tetap merasa ada sebuah inspirasi luar biasa, yaitu mengajari manusia untuk selalu belajar. Belajar membaca atas nama Tuhannya, atas nama dirinya sebagai hamba, atas nama dirinya sebagai khalifah di bumi. Semoga inspirasi ini juga menjadi benih iman bagi kita yang masih terombang ambing dituntun menuju kemasyhuran dan ridlo Ilahi. Wallahu ‘alam bish-showab.(*)