Oleh: HS Makin Rahmat, Jurnalis dan Tour Leader Haji-Umroh
SAAT melaksakan ibadah haji 2019, selaku Petugas Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD), saya diberikan kesempatan bisa berziarah ke Jabal Nur (Gunung Bercahaya). Usai itu, Awal November 2019 bersama jamaah umroh dari travel PT. Arofahmina, saya kembali ditakdirkan mendampingi para tamu Allah (Dloifullah) untuk tapak tilas ke puncak Jabal Nur dan menyusup dan salat di Gua Hira, tempat fenomental di mana baginda Rasulullah SAW yang sedang khusyuk bertafakur, menyendiri menerima wahyu pertama melalui Malaikat Jibril AS.
Guna membangkitkan kembali wahyu Ilahi, saya berusaha mengupas dari sisi lain, betapa masyhur dan masih misteri naik ke gunung yang terletak sekitar 6 kilometer dari utara Masjidil Haram, Makkatul Mukarromah. Ada hal-hal unik hampir selalu dirasakan pendaki Jabal Nur, yaitu rasa sesak seperti ada beban berat di dada. Dari catatan, dua kali tapak tilas Gua Hira, pertama bersama rombongan petugas TPHD Kabupaten Sidoarjo dan kedua mengiringi jamaah umroh, dua jurnalis Tribroto dari Trans TV, Nur Faishal wartawan online, Saad Jakram, petani jeruk sukses di Malang dan Rahmat Sutandyo, cerpenis tinggal di Bangka Belitung.
Mengapa dua pengalaman mendaki terakhir begitu terkesan dan semoga menjadi pembangkit kita selaku umat dari Baginda Rasulullah, apalagi di penghujung bulab Rabiul Awal, bulan kelahiran Rasulillah. Ada nilai-nilai rohani, memotivasi suplemen vitamin batiniah kita yang kian kering dan tergerus oleh berabagai peristiwa mengesampingkan sejarah dan wahyu-wahyu Ilahi.
Saat, saya mendapat tugas mendampingi TPHD, diantaranya tiga perempuan termasuk bu Nyai Hj. Aminah Thohir, mubalighoh asal Waru, Sidoarjo, bu Hj. Sumaiyah dan Hj. Herti Achmayanti, pengusaha dan politisi PKB, semangat saya sempat kendor. Untungnya, ada mas Awan, karateka nasional dan Fanny jurnalis dari SBO Tv sehingga bisa menambah gairah. Kami pun mengatur keberangkatan pada pukul 02.30 waktu setempat (WSA) dengan harapan saat mendaki sampai puncak tiba sebelum Subuh dan bisa menikmati matahari terbit.
Subhanallah, dalam perjalanan mencapai sepertiga, rombongan mulai tercecer. Ada keraguan untuk melanjutkan pendakian. “Kok, abot nggeh ustadz ? (Kok berat ya ustadz?),” tanya Hj. Sumaiyah. Ternyata, tekad bu Nyai Aminah tergerak semangat ummul mukminin Siti Khodijah al Kubro dalam usia 55 tahun masih sanggup naik dan membawa bekal kepada suami tercinta, tiada lain yaitu manusia agung, Muhammad Rasulullah. Apalagi, jalan terjal 14 abad lalu, tentu sangat jauh berbeda. Saat ini sudah ada tangga setapak untuk bisa dinaiki mempermudah para pendaki.
Dengan niat bulan dan semangat membara, kami pun terus naik hingga ke puncak. Sampai di atas, karena bersamaan musim haji, areal di sekitar Gua Hira sangat-sangat padat. Jangankan masuk ke dalam gua, untuk menapak dari areal luar gua, tidak memungkinkan. Kebetulan, saya membawa lampu sorot dan memohon diri selaku jurnalis untuk bisa mengabadikan lokasi yang istimewa. Alhamdulillah, ada jamaah dari Turki memberikan kesempatan, malah seorang jamaah dari Pakistan mempersilakan saya masuk ke gua. Sayangnya, saya belum bisa salat di mana Rasulullah, konon tempat Rasulullah bermunajat di batu yang bisa berfungsi sebagai sajadah. Uniknya, batu tersebut mengarah ke kiblat, baitullah di masjidil Haram. Allahu Akbar.
Lebih mempesona lagi, saat turun dari Gua Hira, butiran mutiara fajar memancarkan cahaya kemilau. Kemasyhuran Jabal Nur, gunung yang selalu bercahaya tiada pernah pudar. Saya pun, teringat dengan peristiwa sejarah, menurut tarikh, terjadi pada Senin 17 Ramadhan yang bertepatan 6 Agustus 610 M—menurut Ibnu Sa‘ad dalam Al-Thabaqat Al-Kubra—kala Nabi Muhammad tengah khusyuk bertafakur, ia menerima wahyu pertama. “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-Alaq: 1-5).
Itulah sekaligus proses wisuda Muhammad resmi dilantik sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Saat menerima penobatan sebagai Nabi ini, usia Muhammad sekitar 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kalender Qamariyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut almanak Syamsiyah. Tapi, saya tidak membahas tentang proses pengangkatan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, namun membahas tempat di mana beliau bertahan dan mendapatkan wahyu, yakni Gua Hira.