Lebih rinci, Supomo menjelaskan bahwa dari 948 orang itu, 824 orang ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), 47 orang gepeng, 49 orang lansia, 11 orang anjal, dan 17 orang tindak asusila. Sebagian besar dari mereka bukan asli Surabaya, melainkan berasal dari luar kota dan bahkan luar pulau, seperti ada yang dari Aceh, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, Sumatera dan Bengkulu.
“Kita kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk membantu menemukan identitas pasien. Kita gunakan finger print untuk mencari data para PMKS yang sudah masuk ke Liponsos,” kata dia.
Dari data finger print itu, beberapa diantara PMKS itu diketahui alamatnya, sehingga apabila sudah sinyatakan sembuh oleh tim dokter, bisa lebih gampang untuk memulangkannya. Sebelum dipulangkan, biasanya Dinsos berkoordinasi terlebih dahulu dengan Dinsos tempat asal PMKS itu. “Tapi kadang walaupun belum pulih betul, kita tetap pulangkan, karena ternyata keluarganya sudah merindukannya. Sedangkan yang belum diketahui identitasnya, kami sehatkan terlebih dahulu,” imbuhnya.
Meski begitu, Supomo mengaku bersyukur karena data dari tahun ke tahun yang masuk ke Liponsos sudah ada pengurangan. Ia pun menyebutkan data tahun 2017, yang mana saat itu penghuni Liponsos mencapai 1.600 orang. “Nah, di tahun 2019 ini, sudah ada 1.073 orang. Ya kalau dibanding tahun 2017 memang ada pengurangan, karena mungkin sudah banyak yang tahu kalau ngemis dan ngamen di Surabaya akan ditangkap, sehingga mereka sudah agak takut kalau ngamen di Surabaya,” tukasnya. (wt)