Keberadaan konsultan ibadah sebelum Menag LHS memang ada. Namun, perannya lebih sebagai tempat bertanya untuk setiap persoalan perhajian yang muncul di setiap tahun penyelenggaraan. Konsultan berkantor di kantor daker. Mereka yang ingin bertanya, datang ke kantor daker Makkah.
Sejak 2014, Menag LHS membuat terobosan baru. Konsultan diberi peran lebih dinamis. Selain sebagai tempat bertanya, konsultan juga melakukan visitasi ke hotel jemaah untuk menyapa dan memberikan bimbingan kepada jemaah, sekaligus memperkuat peran petugas bimbingan ibadah (bimbad) yang ada di sektor. Saat itu, konsultan ibadah baru satu, dan hanya ditempatkan di daker Makkah, yaitu: Prof. Dr Aswadi, Guru Besar Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya. Sinergi petugas bimbad dan konsultan menjadi ujung tombak program bimbingan ibadah untuk jemaah selama di Makkah.
Kebijakan ini dikembangkan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah setahun berikutnya. Untuk lebih mengoptimalkan peran konsultan, dibentuklah tim konsultan di Daker Makkah. Sejak 2015 hingga 2016, sedikitnya ada tiga konsultan di Daker Makkah yang berbagi peran dalam memberikan bimbingan kepada jemaah. Mereka berkeliling dari satu hotel ke hotel lainnya secara terjadwal dan berkala untuk memberikan penguatan pemahaman kepada jemaah seputar haji dan maknanya.
Keberadaan konsultan ibadah semakin diperkuat dalam tiga tahun terakhir. Sejak 2017 hingga sekarang, selain di Daker Makkah, konsultan juga ditempatkan di Daker Madinah. Bahkan, ada dua konsultan juga di tiap sektor hotel jemaah haji di Makkah yang rata-rata terdistribusi dalam 11 sektor.
Seiring bertambahnya personel, terjadi penguatan program. Semakin luas pula jangkauan pembinaan yang bisa dilakukan. Terobosan ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pelaksanaan ibadah jemaah haji Indonesia. Dus, diharapkan dapat membantu jemaah dalam menggapai kemabruran. Dampak lanjutannya, muncul pribadi-pribadi Muslim Indonesia yang memiliki pemahaman dan pengamalan keagamaan yang semakin berkualitas, baik secara personal maupun sosial.
Pesan Wasathiyah
Wasathiyah (moderasi) dalam beragama menjadi bagian dari pesan bimbingan ibadah yang disampaikan konsultan kepada jemaah. Wasathiyah yang dimaksud di sini adalah cara pandang dan praktik menjalankan ibadah haji yang sesuai dengan ketentuan fikih di satu sisi, dan dengan tetap menimbang aspek non-fikih, seperti kesehatan dan keselamatan, di sisi lain.
Pengendali Teknis Bimbingan Ibadah Haji Oman Fathurahman, Minggu (28/7/2019) mengatakan, setidaknya ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan sikap wasathiyah dalam praktik ibadah haji, yakni: berilmu, berbudi, dan berhati-hati.
Pertama, berilmu artinya moderasi beragama mengandung nilai agar praktik berhaji diiringi dengan pengetahuan fikih manasik haji yang memadai, dan sekaligus kaidah-kaidah ushul fikih yang melengkapi. Prinsip “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”, yakni mengutamakan menolak resiko bahaya ketimbang mengambil manfaat, selayaknya lebih dikedepankan; tidak memaksakan menjalankan ibadah, terutama yang sunnah, jika jiwa taruhannya.
Terkait ritual melempar jumrah aqabah pada 10 Zulhijjah misalnya, narasi fikih manasik haji menempatkan waktu pagi hingga menjelang naiknya matahari (zawal) sebagai waktu utama. Namun, untuk menghindarkan kondisi zahmah (berdesakan), krodit, Pemerintah Arab Saudi mengambil kebijakan rekayasa jalur lalu lintas pergi pulang jemaah dari Jamarat, dan melarang jemaah haji Indonesia melempar jumrah pada waktu utama tersebut.
Kini, rekayasa tersebut juga mencakup lokasinya, di mana jemaah haji kita, dan Asia Tenggara, diharuskan melempar melalui jalur Jamarat di Lantai 3. Meski berbeda dengan fikih manasik yang kita pahami, tentu kita harus mematuhinya, demi keselamatan.
Kedua, prinsip berbudi dalam moderasi mengandung nilai agar jemaah haji juga mempertimbangkan aspek etika dalam mengejar pahala. Praktik ibadah harus diiringi sikap mengendalikan emosi, bersabar, dan mengedepankan akhlak mulia. Dalam menjalani keseluruhan prosesi haji, jemaah tidak bisa mengedepankan egonya sembari mengusik kenyamanan jemaah lain. Mencium Hajar Aswad, misalnya, memang sebuah keutamaan yang dicontohkan Rasul, tapi jika untuk mendapatkannya saja harus sikut kiri senggol kanan mencelakakan diri dan jemaah lain, jelas bukan cara yang dianjurkan untuk mendapatkan kemabruran.
Ketiga, moderasi beragama juga mengandung pesan untuk selalu berhati-hati dalam bertindak, tidak gegabah, dan selalu mempertimbangkan baik buruknya setiap pilihan. Konsisten berada di tengah bukan berarti diam saja, melainkan dinamis bergerak merespons situasi dengan cermat.
Meyakini bahwa Masjidil Haram adalah tempat suci, itu adalah bagian dari ajaran agama. Tapi, keyakinan itu bukan berarti harus meletakkan sikap waspada dan hati-hati, karena nyatanya tidak sedikit jemaah haji kita yang kehilangan dompet dan uang yang dibawanya, bahkan ketika mereka melakukan tawaf di depan Ka’bah sekalipun.
Tidak hanya oleh konsultan, pesan wasathiyah, yang menekankan adanya keseimbangan dalam beribadah haji, sudah seharusnya digaungkan dan didakwahkan oleh jemaah agar semakin terinternalisasi dalam pemahaman dan mewujud dalam laku hidup keseharian, tidak hanya ketika berada di Tanah Suci, tapi juga saat sudah kembali ke Tanah Air. Berilmu, berbudi, dan berhati-hati, adalah kunci. (wt)