Oleh : Dr H Abdul Rouf, Mag
Marhaban ya Ramadlan, Marhaban ya shahra shiyam…
Selamat menjalankan puasa bulan Ramadlaan 1442H ..
Bagaimanakah puasa kita ?, bagaimanakah qiyamullayl kita?, bagaimanakah shadaqah dan infaq kita?, bagaimanakah tadarrus al-Qur’an kita ?, Pertanyaan – pertanyaan ini sangat penting untuk selalu dijadikan bahan introspeksi perjalanan Ramadlah 1442H kita yang sudah kita lalui beberapa hari ini, agar lebih baik dari sebelumnya.
A. Tujuan Puasa Ramadlan
Perintah puasa pada bulan Ramadlan berdasarkan pada perintah Allah sebagaimana dalam al-Qur’an Q.S. (02:183). “Ya ayyuhallazina amanu kutiba ‘alaikumus-siyamu kama kutiba ‘alallazina ming qablikum la’allakum tattaqun” (Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa).
Perintah puasa ramadlan dimulai dengan panggilan mesra dari Allah swt “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”, Disini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa hari kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa : sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, . Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuannya adalah untuk kepentingan orang yang berpuasa sendiri, yaitu agar kamu bertakwa ( terhindar dari siksa).
Secara jelas bahwa tujuan puasa Ramadlan yang hendaknya selalu diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tataqun. Dalam rangka mencapai tujan tersebut, agaknya perlu digaribawahi beberapa penjelasan dari Nabi Muhammad saw, misalnya : Banyak diantara orang-orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga, dan banyak orang yang bangun malam namun tidak mendapatkan sesuatu dari bangun malamnya kecuali hanya begadang (HR Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).
Ini bisa berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari berpuasa. Ini dikuatkan pula dengan firman Allah swt bahwa “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan “
Pada satu hadits Qudsi, Allah swt berfirman : Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa, Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya. Puasa itu ibarat perisai, pada hari melaksanakan puasa, janganlah yang berpuasa mengucapkan kata-kata kotor, tidak sopan, dan tidak enak didengar, dan jangan pula ribut hingar bingar dan bertengkar, Jika diantara kalian memakinya, atau mengajak berkelahi, hendaknya mengatakan kepadanya “ saya sedang berpuasa”. Selanjutnya Nabi Muhammad saw bersabda: Demi Allah yang diri Muhammad didalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang sedang berpuasa lebih wangi disisi Allah dari bau Kasturi. Dan bagi orang yang berpuasa tersedia dua kegembiraan, yaitu gembira ketika berbuka puasa, karena bukanya, dan gembira ketika kelak menemui Tuhannya karena menerima pahala puasanya “ (HR Syaikhani, Nasa’I, dan Ibnu Hibban bersumber dari Abu Hurairah).
Ini berarti bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu ada beberapa hal yang bisa dijelaskan tentang keunikan ibadah puasa khususnya Ramadlan. Misalnya, Ibadah puasa merupakan ibadah rahasia antara Allah swt dan al-Sha’im (orang yang berpuasa). Bukankah orang yang berpuasa bisa bersembunyi untuk makan dan minum ?, Bukankah sebagai insan, siapapun yang berpuasa memiliki keinginan untuk makan dan minum pada saat-saat tertentu dari siang hingga sore hari?, Bukankah orang yang berpuasa bisa bersembunyi dari orang-orang yang dikenalnya dan berpindah dari tempat tinggalnya ke tempat yang lain untuk makan atau minum ?, Nah, Kalau demikian apa motivasinya menahan diri dari makan dan minum dan keinginan-keinginan yang lainnya?, bisa jadi, bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat bersembunyi dari pandangan mereka. Disini bisa disimpulkan bahwa orang yang sedang berpuasa, melakukannya demi karena Allah swt (Bismillah dan lillah), demi ketakwaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah diantara keunikan ibadah puasa Ramadlan, sebagaimana makna dari hadist qudsi tersebut.
B. Makna Taqwa kepada Allah SWT
Allah berfirman dalam Hadist Qudsi : Aku adalah ahlinya tempat kalian takwa kepada-Ku, Janganlah membuat Tuhan lain yang disekutukan kepada-Ku, Barangsiapa yang menjaga diri dari menyekutukan Aku, Akulah yang berhak untuk memberi ampunan baginya (HR. Ahmad, Tirmizi, Nasa’I Ibnu Majah, al-bazzar, Abu Ya’la dan Hakim yang bersumber dari Anas ra) (Ali Ustman dkk, Hadits Qudsi, 163)
Takwa terambil dari akar kata yang bermakna : menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah : ittaqullah : secara harfiah bermakna Hindarilah, Jauhilah, dan jagalah dirimu dari Allah. (Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, 531).
Kata taqwa bisa berarti Mengambil tindakan penjagaan dan memelihara diri dari sesuatu yang mengganggu dan membahayakan (memudharatkan). Sementara menurut istilah syara’ : Menjaga dan memelihara diri dari siksa dan murka Allah swt dengan jalan menjalankan perintah-perintahNya, ta’at kepadaNya dan menjauhi larangan serta perbuatan maksiat.
Para ahli Tasawuf berpendapat bahwa taqwa adalah membentengi diri dari siksa Allah dengan jalan ta’at kepadaNya. Menurut Abdullah bin’Abbas ra : orang yang bertaqwa adalah :
a). orang yang berhati-hati dalam ucapan dan perbuatannya agar tidak mendapatkan murka dengan siksaan Allah swt, meninggalkan dorongan hawa nafsu,
b). orang yang mengharapkan rahmatNya dengan meyakini dan melaksanakan ajaran yang diturunkanNya.
Abu Darda’ menyatakan bahwa taqwa seseorang dikatakan sempurna apabila orang tersebut telah menjaga diri dari perbuatan dosa walaupun sebesar biji sawi, dan bahkan bersedia meninggalkan hal-hal yang syubhat (diragukan kehalalannya), karena takut tergelincir kepada hal yang haram, dengan demikian terbentuklah benteng yang kokoh diantara dirinya dengan barang yang haram.
Allah menegaskan dalam al-Qur’an Q.S:99: 7-8) “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar biji dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”
Abu Darda juga memperingatkan agar tidak seorangpun meremehkan dan menganggap enteng (remeh) perbuatan yang baik sekalipun kecil. Demikian juga hendaknya manusia menjauhkan diri dari perbuatan jahat sekalipun tampaknya tidak berarti (kecil).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dianggap sebagai khalifah yang kelima dari Khulafa’urrasyidin mengatakan bahwa “Berpuasa pada siang hari dan berjaga malam untuk shalat, serta berdzikir sepanjang malam atau mengerjakan keduanya (siang dan malam) belum bisa dikatakan sebagai Taqwa yang sempurna, Taqwallah berarti meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah swt dan menunaikan yang difardlukan Allah. Barang siapa yang karuniai kemampuan berbuat baik setelah taqwallah, maka kebaikan-kebaikan itu merupakan tambahan kebaikan (berkah). (Ali Usman, Hadits Qudsi, 164)
Syaikh M Abduh menulis : menghindari siksa atau hukuman Allah swt, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangNya serta mengikuti apa yang diperintahkanNya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa yaitu Allah swt. Rasa takut ini berawal dari timbulnya karena ada siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah swt (yang menyiksa).
Dengan demikian orang yang bertaqwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah swt setiap saat,” where ever and when ever, kayfa ma kaana wa ayna ma kana”, “…. seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, (yakinlah bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu.” Sebagaimana bunyi hadist Nabi Muhammad saw tentang Ihsan.
C. Implementasinya dalam kehidupan
Allah swt berfirman dalam al-Qur’an : surah al-Isra’ : 84, bahwa manusia di dunia ini diciptakan oleh Allah dengan kemampuan masing-masing : “ Qul Kullun ya’malu ‘ala syakilatihi farabbukum a’lamu biman huwa ahda sabiilaa” : (Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (al-Isra; 84).
Dalam Tafsir Tahlili al-Qur’an Kementerian Agama RI dijelaskan bahwa: Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan kepada ummatnya agar mereka bekerja menurut potensi dan kecenderungan masing-masing. Semua dipersilahkaan bekerja menurut tabi’at, watak, kehendak dan kecenderungan masing-masing, . Allah swt sebagai Penguasaa semesta alam mengetahui siapa diantara manusia yang mengikuti kebenaran dan siapa diantara mereka yang mengikuti kebathilan. Semuanya nanti akan diberi keputusan yang adil.
Dengan demikian, profesi, pekerjaan dan kesibukan apapun yang sedang dilakukan oleh manusia merupakan pilihan masing-masing yang nantinya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt.
Dengan puasa Ramadhan diharapkan ada implementasi nilai-nilai ketaqwaan pada pilihan profesi dan kecenderungan masing-masing orang sedang puasa. Sehingga setelah menjalankan puasa ramadhan ini akan menghasilnya professional-profesional dibidang pilihanya yang muttaqi, ilmuan yang muttaqi, teknokrat yang muttaqi pendidik yang muttaqi, insinyur yang muttaqi, pedagang (pebisnis) yang muttaqi, guru yang muttaqi, petani yang muttaqi, pegawai yang muttaqi, buruh yang muttaqi, pemimpin-pemimpin yang muttaqi. Yaitu mereka yang selalu ta’at, patuh dan menjalankan perintah-perintah Allah swt, dan selalu menjauhi dan meninggalkan hal yang dilarang oleh Allah swt, dimana dan kapanpun mereka berada. Dengan selalu diiringai kemanfa’atan dan kemashlahatan (keberkahan) kegiatan mereka.
Semoga selalu sehat wal’afiat dan full barakah…
Allahumma inna’ka ‘afuwwun karim tuhibbu al-‘afwa fa’fu’anna ya karim (*)
*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Magister Agama Islam Universitas Darul ‘Ulum Jombang
*) Email :[email protected]