Oleh: HS. Makin Rahmat
Ada pertanyaan menggelitik di hati saya, yaitu kecondongan manusia untuk berbuat kesewenang-wenangan. Merasa dirinya benar, yang lain salah. Padahal rambu peringatan untuk mematuhi perintah Allah , menjauhi laranganNya merupakan tuntutan normatif dan jelas.
Kalau pun kita belum mampu menjadi penerus perjuangan para hambaNya yang sholeh, mudah-mudahan tidak terjerembak dalam peran antagonis yang jelas-jelas sudah dijabarkan dengan gamblang oleh Allah SWT.
Bagaimana jika jatuh disusupi ayat: Abu Lahab? Firman Allah yang menjabarkan kesombongan, kepongahan, kecongkakan, dan kebodohan hambaNya terungkap jelas. Kalimat pengingat yang santun, “teliti dirimu sendiri, maka engkau tahu posisi dirimu lagi di ayat mana. Bila seeorang lagi di ayat summun bukmun umyun fahum laa yarjiun, itu berarti hatinya sudah buntu… buta, tuli, bisu, hatinya membatu dan keras. Wallahu a’lam bish-showab.
Subyektif saya, hal paling rentan kemasukan bisikan “Iblis” itu malah ahli tauhid sendiri, karena iblis itu memang paling makrifatullah. Ciri-ciri ahli tauhid yang kemasukan iblis adalah “ana khairun minhum” (saya lebih baik darinya), yaitu kesukaannya merasa benar sendiri dengan melecehkan atau mencela dan menghina orang lain.
Menganggap ajarannya yang paling benar sendiri, kayak paling suci sendiri. Iblis menolak untuk hormat kepada Adam, karena merasa lebih baik.
Berawal dari iqro’ kitabaka atau muhasabah diri itulah diharapkan manusia menemukan cela-cela dirinya sendiri, lalu dari situlah timbul usaha untuk memperbaiki diri. Membaca dan mengkoreksi orang lain adalah sebuah kesalahan fatal sebab akan menimbulkan prasangka.
Padahal kalau prasangka itu benar tidak aka nada hadiah, sebaliknya jika salah menjadi su’udzon dan berdosa.
Celakanya dari semua itu, sebagai asbab, adalah sangat mengerikan tatkala hati kita selalu “terpancing” dengan berbagai “permainan” di dunia ini, terpancing untuk mengamati, meneliti dan “membaca” orang lain. Lambat laun kita digiring agar lupa mengamati diri sendiri.
Akan gagal melakukan “iqro’ kitabaka”, gagal membaca diri sendiri. Kita digiring serong dari tujuan utama hidup ini. Perlahan lupa pelajaran demi pelajaran, sampai akhirnya kita ingat kembali tatkala kita sudah tersesat jalan terlampau jauh.