Oleh: HS. Makin Rahmat
Menyusul pengesahan Kementerian Haji dan Umroh, pemerintah telah melegalkan pelaksanaan umrah mandiri melalui Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. UU ini disetujui dalam Rapat Paripurna ke-4 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026 di Senayan pada 26 Agustus 2025 lalu.
Benarkah pelaksanaan Umroh Mandiri memberikan kesempatan kemandirian kepada masyarakat untuk melakukan ritual ibadah umroh dengan biaya lebih murah, dengan tetap memperhatikan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan mampu meraih umrah yang mabrur? Mari kita ulas dari keterbatasan Al faqir yang merasa kebijakan umrah mandiri berpotensi polemik.
Secara normatif dalam pasal 86, ibadah umrah bisa dilakukan dengan tiga cara, lewat travel atau Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), secara mandiri, atau melalui menteri dalam kondisi luar biasa atau darurat. Aturan baru ini mengubah ketentuan sebelumnya yang hanya memperbolehkan umrah lewat PPIU dan pemerintah.
Berikutnya, pasal 88A menyebut, bahwa jemaah umrah mandiri berhak memperoleh dua hal, yakni memperoleh layanan yang sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyedia layanan dengan jemaah umrah; dan melaporkan kekurangan dalam pelayanan penyelenggaraan ibadah umrah kepada menteri.
Pertama, bila umroh menguntungkan masyarakat, harus jelas dan gamblang, siapa? Bila sebagai bentuk peningkatan bentuk pelayanan tidak serta merta berlaku aktif, karena ada persyaratan yang harus dipenuhi tanpa ada perlindungan baik tata cara ibadah, kepastian layanan dan bila terjadi problem di lapangan.
Belum lagi kebebasan dunia medsos yang bisa menjadikan peluang konten umroh mandiri untuk tujuan-tujuan tertentu. Belum lagi dampak bagi pelaku travel umrah yang terus berjuang memberikan pelayanan standar bagi jamaah. Tentu regulasi umroh mandiri menimbulkan kegamangan. Setidaknya, perlu secara jernih, bijak dan terapan telaah yang bisa membangun industri umroh sendiri.
Telaah Akademik Umrah Mandiri
Menelaah konsideran UU Nomor 14 Tahun 2025, khususnya poin (b) dan (c), kita melihat semangat dan alasan pemerintah mengubah UU sebelumnya, dalam rangka memperbaiki tata kelola kelembagaan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah agar *lebih syar’i, aman, nyaman, tertib, serta mendukung ekosistem ekonomi ibadah haji dan umrah.
Di balik semangat umrah mandiri sebagai alternatif layanan, muncul pertanyaan mendasar: apakah payung hukum yang disediakan sudah cukup jelas dan adil? Paparan Pasal 1 yang berisi definisi umum tidak menyebut sama sekali istilah *umrah mandiri*. Padahal, istilah ini kini memiliki konsekuensi hukum dan administratif yang besar. Ketidakjelasan ini berpotensi menciptakan tumpang tindih, bahkan risiko hukum bagi masyarakat yang awam terhadap regulasi tersebut.
Pertanyaan sederhana, yang dimaksud umrah mandiri itu yang seperti apa? Umroh dilakukan oleh seseorang secara mandiri, semuanya diurus sendiri, atau boleh diuruskan orang lain atau kelompok lain atau korporasi? Pertanyaan inilah yang kini menggelantung dan dibiarkan melayang oleh pembuat UU. Maka jangan heran jika kelak dalam implementasi UU ini akan muncul kegaduhan baru atau permasalahan yang tidak kita duga.
Slanjutnya, Pasal 2 dan 3. Dalam pasal 2 dan 3 UU ini menegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, termasuk umrah mandiri, wajib berasaskan syariat, amanah, keadilan, profesionalitas, akuntabilitas, serta pelindungan jamaah. Tujuannya pun serupa, yaitu: memberi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan agar jamaah dapat beribadah dengan aman dan tertib, sekaligus memperkuat ekosistem ekonomi haji dan umrah di Indonesia.




