Bersama tim, Wahyudi pun menelusuri kembali jejak kisah rakyat yang selama ini hanya hidup dalam tradisi lisan yakni legenda Bubukshah dan Gagang Aking.
“Kami tidak bisa langsung membuat pertunjukan tanpa tahu ruh cerita ini. Maka kami mulai dari riset, membaca jurnal nasional, internasional, gali tafsir semiotik, baru kemudian kami susun plot dan koreografi,” kata Wahyudi, kepada WartaTransparansi.
Ia menyebut Bubukshah bukan sekadar karakter mistik. Di baliknya tersembunyi simbol spiritual yang mengakar dalam kesadaran masyarakat Kota Kediri, yang kemudian dimaterialkan dalam sosok Macan Putih.
“Macan Putih bukan sekadar lambang. Ia adalah simbol perjalanan batin dan spiritualitas orang Kediri. Inilah yang ingin kami sampaikan lewat pertunjukan,” ujarnya.
Pertunjukan kolosal Jejak yang Tak Bersuara yang dimainkan oleh 260 mahasiswa PGSD bukan hadir dalam semalam. Butuh empat bulan perencanaan dan latihan. Mahasiswa tak hanya diajari menari, tapi juga diajak memahami karakter, mengenali makna simbol, hingga merancang struktur panggung.
“Di Prodi PGSD, kami punya mata kuliah Pengembangan Seni Pertunjukan. Nah, festival ini adalah output nyatanya. Seni bukan cuma materi di kelas, tapi harus bisa menyapa publik,” kata Wahyudi.
Festival ini, sambungnya, juga jadi bukti bahwa universitas bisa hadir bukan hanya sebagai pusat ilmu, tapi juga penjaga budaya. Apalagi gagasan awalnya berasal dari Rektor UNP Kediri, Dr. Zainal Afandi, yang kerap menekankan pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai lokal.
“Pak Rektor sering cerita soal kisah Bubukshah dan filosofi ikhlas dalam hidup. Itu yang menginspirasi kami. Bahwa bukan siapa yang paling sengsara yang mulia, tapi siapa yang paling ikhlas menjalani hidup,” ucap Wahyudi.
Sementara itu, Ketua panitia FKB ke IV, Ronny Mahardika, menyebut festival ini sebagai bentuk ikhtiar melestarikan budaya di tengah arus modernisasi. Berkolaborasi dengan tujuh sanggar tari baik di Kabupaten Kediri maupun Kota Kediri. Acara juga diikuti mahasiswa dari kampus ini, khususnya PGSD UNP Kediri.
“Anak muda harus mengenal akar budayanya. Jangan sampai warisan leluhur ini hilang ditelan zaman,” ujarnya.
Menurut Ronny seluruh proses disiapkan selama tiga hingga empat bulan sejak usai Lebaran Idul Fitri 1446 H. Semua elemen acara, mulai dari produksi hingga penampil, berasal dari Program Studi PGSD UNP Kediri. Festival ini telah terselenggara sudah yang keempat kali dilaksanakan.
Setiap festival juga selalu mengusung tema tersendiri. Pada 2025 ini menampilkan berbagai macam kesenian tradisional dari berbagai daerah. Masih kata, Ronny festival kali Brantas (FKB) juga menjadi bagian dari penilaian mata kuliah Pengembangan Seni Pertunjukan.
“Kegiatan ini bukan sekadar hiburan. Ini ruang belajar yang sesungguhnya,” ungkap Ronny.(*)