Persoalan lain yang juga menjadi pokok sengketa adalah isi dari akta wasiat mendiang orang tua mereka. Dalam surat tersebut, terdapat ketimpangan pembagian yang signifikan, di mana Bambang dan dua anak laki-laki lainnya mendapat porsi lebih besar dibanding anak-anak perempuan.
Meski demikian, menurut Pasal 913 KUHPerdata, setiap anak sebagai ahli waris memiliki hak atas legitieme portie—bagian minimum yang tidak dapat dihapuskan bahkan oleh kehendak dalam surat wasiat.
“Karena itu, kami memohon agar hakim menetapkan pembagian yang adil dengan tetap memperhitungkan legitieme portie dari masing-masing anak,” lanjut Soegeng.
Sebagai bagian dari gugatan, Widyawati juga menuntut ganti kerugian materiil sebesar Rp 100 miliar dan kerugian imateriil senilai Rp 25 miliar. Ia menilai jumlah tersebut wajar jika dibandingkan dengan total aset warisan yang diperkirakan hampir mencapai Rp 1 triliun.
“Nilai Rp 100 miliar sudah cukup adil ketika asetnya hampir Rp 1 triliun untuk tujuh orang,” tuturnya kepada wartawan usai sidang.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, Bambang Husana Kwee belum memberikan tanggapan. Upaya konfirmasi ke kediamannya di Jalan Dharmahusada Utara 3/15, Gubeng, Surabaya, juga belum membuahkan hasil karena ia tidak berada di tempat.
Sengketa warisan ini tidak hanya menyangkut aspek kepemilikan harta, tetapi juga menunjukkan pentingnya transparansi, komunikasi antar ahli waris, serta ketegasan hukum dalam menegakkan keadilan berdasarkan prinsip legitieme portie. Kasus ini menjadi pengingat bahwa wasiat yang tidak jelas dan pembagian yang tidak adil berpotensi memicu konflik berkepanjangan, bahkan di dalam keluarga terdekat. (u’ud)