Dalam diskusi kecil yang kerap dilakukan, Yasin kemudian mengingatkan pentingnya untuk kembali pada esensi Ramadan. Fenomena politisasi dan komodifikasi Ramadan, kata alumnus Stikosa-AWS itu, menunjukkan bahwa pesan penting yang diharapkan malah kerap diabaikan.
Ramadan juga sering dijadikan momentum oleh berbagai pihak untuk kepentingan tertentu, mulai dari politisi yang memanfaatkan momen ini untuk pencitraan hingga merek-merek yang menjadikan Ramadan sebagai ajang pemasaran besar-besaran. “Akibatnya, nilai spiritual Ramadan bisa tergeser oleh kepentingan komersial atau politik,” tegas Yasin.
Kalau bicara soal pesan Ramadan yang muncul di media sosial dan media online lainnya, lanjut Yasin, ada beberapa poin penting yang seharusnya menjadi prioritas tetapi sering kali terpinggirkan oleh konten-konten yang lebih ringan atau sekadar hiburan.
Misal, pesan tentang Ramadan yang bukan hanya soal menahan lapar dan haus, tetapi juga momen untuk meningkatkan ibadah, refleksi diri, dan memperbaiki hubungan dengan sesama.
Sayangnya, di media sosial, banyak yang lebih fokus pada konten seperti bukber (buka bersama), tren ngabuburit, atau meme seputar puasa. Ini tidak salah, tapi kalau terlalu dominan, esensi utama Ramadan bisa terlupakan.
“Ramadan seharusnya menjadi momen untuk hidup lebih sederhana, tetapi di media, justru ada tren konsumsi yang berlebihan. Mulai dari promosi diskon besar-besaran, tren kuliner Ramadan, hingga gaya hidup konsumtif yang semakin kuat menjelang Idul Fitri. Padahal, nilai utama Ramadan adalah menahan diri dan berbagi dengan yang membutuhkan,” jelasnya.
Di sisi lain, Yasin juga menyoroti aksi media sosial dan kegiatan berbagi selama Ramadan, seperti zakat, sedekah, atau program berbagi makanan, yang tenggelam gaya pencitraan, di mana aksi sosial lebih bertujuan untuk mendapat perhatian daripada benar-benar membantu. Perlu ada keseimbangan antara publikasi aksi sosial dengan niat yang tulus.
“Pesan Ramadan tentang aspek kesehatan mental masih kurang diangkat. Padahal, Ramadan juga bisa menjadi momen untuk memperbaiki keseimbangan emosi, mengelola stres, dan mendekatkan diri pada ketenangan spiritual,” ingatnya.
Pesan-pesan ini, kata Yasin, tenggelam oleh prank bertema Ramadan yang tidak mendidik. Di media sosial, tren semacam ini lebih banyak disukai dibanding konten edukatif tentang Ramadan.
“Padahal media massa adalah harapan. Entah itu media sosial, atau media berita. Harapan agar audience selalu diingatkan, mendapat cermin, dimantabkan, sehingga kita berjalan di koridor yang benar, dan terselamatkan,” tutup Yasin. (*)