Alasan itu lah yang menurut Yetti, membuat Lubuklinggau tidak memiliki sesuatu yang dapat menjadi ciri khas. Ia pun akhirnya berinovasi dengan menggunakan durian sebagai motif andalan wastra dari Lubuklinggau.
“Saya tidak mau terperangkap pada yang namanya filosofi khusus, karena saya pikir Lubuklinggau ialah kota baru, kota yang baru dibekalkan, jadi, kain kita pun dapat jadi kain yang baru, tanpa harus terjebak dengan filosofi khusus,” kata dia.
“Jadi memang saya bebaskan desainnya seperti itu, dibantu beberapa pengrajin dari Pekalongan pada awalnya,” Yetti menambahkan.
Tahun demi tahun berlalu, dari yang awalnya tidak ada sama sekali pengrajin wastra di sana, kini sudah lebih dari 350 pengrajin lokal yang terdiri atas kebanyakan ibu rumah tangga, menuangkan kreasinya pada Batik Durian Lubuklinggau. Saat ini, kreasi motif durian pada batik tersebut telah tercipta ratusan desain.
Meski baru berumur 10 tahun, Batik yang sarat dengan warna-warna cerah itu cukup banyak digemari berbagai kalangan, kepopulerannya pun melesat begitu cepat hingga taraf dunia.
Batik Durian Lubuklinggau berhasil menebarkan pesonanya di Milan Fashion Week 2021 dan 2022 di Milan, Italia. Di ajang fesyen bergengsi dunia itu, jenama busana lokal, JYK, memanfaatkan batik durian untuk dijadikan koleksi bertema “Revolutionary Hope” bergaya punk untuk menjamah pasar generasi muda.
“Sejak selesai Milan Fashion Week, pesanan melonjak hingga lebih dari 1.500 lembar, tidak hanya orang Indonesia, tapi juga masyarakat dunia menyukainya,” jelas Yetti.(*)