Oleh Djoko Tetuko
Sungguh mengagetkan sampai sekarang tidak ada keberanian mengungkap secara tegas “Tsunami Kanjuruhan”, sebuah peristiwa penuh keajaiban ketika dalam waktu sekejab nyawa seratus orang lebih melayang pulang ke alam penantian.
Sabtu 1 Oktober 2022 menjadi malam kelam bagi penonton pendukung Arema Fottball Club, Presiden FIFA Gianni Infantino menyebut sebagai “Kegelapan Dunia Sepakbola”, penjelasan pihak Kepolisian Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta bahwa 127 suporter dinyatakan wafat dari hasil identifikasi di sejumlah rumah sakit dan laporan dari berbagai pihak dengan konfirmasi yang valid.
Jumat 14 Oktober 2022, masyarakat berharap cemas menanti hasil investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) karena sudah menyelesaikan pekerjaan selama hampir 2 minggu sejak peristiwa “Tsunami Kanjuruhan” — banyak menyebut Tragedi Kanjuruhan”—, tidak fokus dalam menyajikan laporan secara komprehenship mampu mewakili semua kepeningan dengan sungguh-sungguh berkedialan.
“Saya jujur sangat mengharapkan hasil investigasi TGIPF berkeadilan, dan benar-benar independen tidak memihak dan tidak punya dendam. Tetapi melihat dengan kacamata keadilan sekaligus menjaga keharmonisan berbangsa dan bernegara,” kata salah seorang tokoh sepakbola nasional dari Jawa Timur.
Menurut dia, sudah menulis bahwa gas air mata sudah menumpahkan jutaan air mata, itulah “Tsunami Kanjuruhan”. Mengapa tidak mencari menyebab gas maut membawa maut. Sebab di beberapa tempat atau stadion memang sering terjadi suporter melanggar statuta karena turun ke lapangan, dan perilaku ini diharamkan. Tetapi tidak pernah sampai terjadi wafat atau meninggal di tempat, paling serem ya anarkisme dengan merusak fasilitas stadion atau mengancam tim lawan.