Oleh : Dhimam Abror Djuraid (Wartawan Senior)
KITA menapaki hari-hari yang menegangkan dengan memasuki minggu kedua pasca lebaran, yang diprediksi bakal menjadi puncak ledakan korban pandemi.
Inilah the moment of truth, momen pembuktian, sebuah count down, hitung mundur, yang membuat harap-harap cemas.
Di sisi lain orang sibuk bersiap-siap menjalani the new normal, hidup damai berdampingan dengan penyakit mematikan, seolah-olah semua sudah lewat dan kita sudah boleh menarik nafas lega.
Alih-alih memasuki the new normal, yang terjadi malah bisa muncul The New Wuhan. Dan itu bisa terjadi di Surabaya. Ini bukan sekadar peringatan gertak sambal, tapi peringatan keras yang disuarakan Tim Gugus Tugas Covid 19 Jawa Timur.
Kondisi Surabaya memang memprihatinkan. Kapasitas rumah sakit sudah full tidak bisa lagi menerima pasien, sehingga harus dialihkan ke rumah sakit darurat. Sementara level penyebaran wabah sangat mengkhawatirkan karena 65 persen jumlah penularan di Jawa Timur berpusat di Surabaya.
Trennya terus meningkat, sementara penanganan masih belum maksimal. Disiplin masyarakat rendah, kerumuanan masih terjadi dimana-mana dan penerapan aturan masih sangat longgar.
Situasi ini memantik kepanikan. Walikota Risma tidak bisa mengendalikan emosinya karena merasa ada yang menyerobot program pengendalian wabah yang sudah disusunnya. Saking murkanya Risma sampai berteriak-teriak histeris di telepon.
Tentu ini bukan kali pertama Risma murka sampai histeris. Dia sudah notorius, terkenal, dengan gayanya yang sumbu pendek dan gampang meledak.
Risma pernah meradang gara-gara sejumlah warga menginjak-injak bunga di Taman Bungkul. Beberapa kali kemarahan Risma juga meledak karena kinerja anak buahnya yang buruk.
Tetapi pernah juga Risma cukup tenang menghadapi masalah besar. Sewaktu Jalan Gubeng ambles selebar 30 meter dengan kedalaman sekitar 10 meter Risma sama sekali tidak marah. Waktu itu, akhir Desember 2018, peristiwanya mirip “Sinkhole” ketika tiba-tiba tanah anjlok secara misterius menyisakan lubang besar yang mengerikan. Sinkhole di Jalan Gubeng membuat warga panik dan ketakutan. Tapi, entah mengapa, saat itu Risma tenang-tenang saja menyikapinya.
Tapi kali ini kasusnya beda. Risma terlihat sangat kecewa sampai menangis. Dan ternyata problem koordinasi dan komunikasi dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang menjadi pangkal persoalan. Dua unit mobil rapid test bantuan pemerintah pusat jadi rebutan antara Khofifah dan Risma. Mau tak mau perseteruan laten dua orang itu menyembul lagi ke publik.
Di tengah situasi genting ketika Surabaya terancam menjadi The New Wuhan silang sengkarut ini belum kunjung usai, malah terlihat semakin akut.
Penanganan pandemi ini tidak bisa dilakukan secara sektoral, regional, atau bahkan nasional. Ini adalah pandemi global yang harus diselesaikan melalui kerjasama global. Surabaya tidak bisa menyelesaikan persoalan ini sendirian. Jawa Timur juga tidak mungkin menyelesaikannya sendirian. Indonesia pun harus bekerja sama dengan dunia internasional untuk mengatasi pagebluk ini.
Lupakan dulu the new normal. Ancaman The New Wuhan tidak main-main. Ahli pandemologi di seluruh dunia mengingatkan dengan keras bahwa the new normal sekarang masih prematur, dan memaksakan penerapannya akan menjadi bencana.