Fakta Bencana 2019 dan Prediksi 2020

Fakta Bencana 2019 dan Prediksi 2020

JAKARTA – Selama tahun 2019, ratusan bencana terjadi di Indonesia, baik disebabkan cuaca, iklim, dan gempabumi yang signifikan. Ratusan nyawa melayang, ribuan jiwa alami luka, dan ratusan ribu manusia  mengungsi.

Hingga Desember 2019, seperti dikutip dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, tercatat telah terjadi 343 kejadian banjir, 340 tanah longsor, banjir disertai tanah longsor di 5 lokasi, 554 kejadian puting beliung.

Kemarau panjang dan kekeringan tahun ini turut memicu 52 kejadian kebakaran hutan dan lahan dan bencana asap. Dalam hal kegempaan, dari ribuan kejadian gempa, tercatat terdapat 12 kejadian gempa bumi signifikan.

Meskipun jumlah kejadian bencana terkait cuaca, iklim, dan kegempaan tahun 2019 paling sedikit dalam 5 tahun terakhir, namun masih terdapat 367 korban jiwa, 1.385 lainnya menderita luka, dan hampir 650 ribu orang mengungsi, selain kerugian material lainnya akibat bencana-bencana tersebut.

Kekeringan yang berdampak pada sektor pertanian, sumber daya air, kehutanan dan lingkungan pada tahun 2019, turut dipicu oleh fenomena Anomali Positip Suhu Muka Laut Pasifik Bagian Tengah (El Nino) yang aktif dari September 2018 hingga Juli 2019 di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah, yang diikuti oleh fenomena Anomali Suhu Muka Laut di Samudera Hindia. Di mana Suhu Muka Laut di timur Afrika lebih hangat disbandingkan dengan suhu muka laut di Barat Daya Sumatera (IOD+) yang menguat sejak April 2019 hingga Desember ini.

Kedua fenomena kopel atmosfer lautan dari sebelah timur dan sebelah barat Indonesia itu memiliki andil dalam membuat musim kemarau bertambah Panjang dan kuat serta menjadikan musim hujan datang terlambat tahun ini.

Kekeringan tahun 2019, menjadi cukup parah. Salah satu factor penyebabnya adalah lebih dinginnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia, terutama bagian selatan lebih rendah 0.5°C atau lebih dari kondisi normalnya pada periode Juni – November 2019. Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan sulit tumbuh awan yang berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer akibat rendahnya penguapan dari lautan.

Hal itu tampak pada tingkat kekeringan akibat rendahnya curah hujan pada periode musim kemarau dari bulan Juli hingga Oktober 2019.

Secara umum, seperti rilis Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D dikutip Selasa (31/12/2019), musim kemarau tahun 2019 menunjukkan kondisi lebih kering dari musim kemarau tahun 2018, dan acuan normal klimatologis tahun 1981-2010, meski tidak lebih kering dari kondisi musim kemarau tahun 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat pada waktu itu.

Tingkat kekeringan meteorologis juga ditunjukkan oleh periode tanpa hujan lebih dari 3 bulan yang cukup merata terjadi di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa. Daerah Rumbangaru, Sumba Timur, mencatat rekor hari tanpa hujan terpanjang pada tahun ini, yaitu 259 hari.

Panjang musim kemarau 2019 di Indonesia, cenderung lebih panjang dari normalnya. Pada tahun 2019, ~46% dari 342 Zona Musim di Indonesia mengalami panjang musim kemarau sama hingga lebih panjang 6 dasarian (2 bulan) dari normalnya.

Hingga pemutakhiran data tanggal 20 Desember 2019, jelas Dwikorita, musim kemarau masih berlangsung di Jatim bagian timur, sebagian besar P. Sulawesi, sebagian Kep. Maluku, Papua Barat, dan Papua bagian selatan.