Wali Kota Risma Ajukan PK, Christiyan: Pemkot Sengaja Mengulur Waktu

* Perkara Tanah Dicaplok untuk Box Culvert Banyu Urip

Wali Kota Risma Ajukan PK, Christiyan: Pemkot Sengaja Mengulur Waktu
Surat tanggapan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk kuasa hukum Sudibyo Christiyan, SH.

SURABAYA – Kasus pencaplokan tanah warga yang dilakukan Pemkot Surabaya untuk keperluan proyek box culvert jalan Banyu Urip, masih tetap ngambang. Pemkot Surabaya belum juga mau memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah, meskipun sudah ada putusan PN Surabaya, diperkuat putusan PT Surabaya dan Mahkamah Agung RI.

Kepastian itu diketahui dengan adanya surat Wali Kota Surabaya Tri Rismahirini yang menjawab surat kuasa hukum penggugat Sudibyo Christiyan, SH.

Sudibyo Christiyan mengatakan, pada 23 Agustus 2019, sebagai kuasa hukum, telah melayangkan surat ke Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini perihal pelaksanaan atas putusan  Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Tinggi Surabaya, dan Mahkamah Agung. Surat tersebut meminta jawaban tertulis wali kota terkait pelaksaan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan hendaknya pemkot dapat melakukan PAK sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan segera di tahun 2019.

Pada 17 September 2019, Wali Kota Tri Rismaharini menjawab surat tersebut. Intinya, sikap Wali Kota Risma dalam surat itu mengatakan, belum dapat menindaklanjuti permohonan kuasa hukum.

”Alasan wali kota, pihaknya masih mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali atas perkara tersebut,” kata Christiyan, Senin (30/9/2019).

Menurutnya, sesungguhya perkara yang terjadi ini jelas, terang benderang, yang bisa diselesaikan tanpa beperkara hukum. Sebab, tergugat adalah pemerintah yang apabila ditarik, posisinya sebagai pihak yang baik dalam menyikapi suatu perkara. Sehingga dengan posisi pemerintah yang baik dan bersih, semestinya melakukan upaya-upaya perdamaian. Tak perlu bawa perkara sampai pengadilan.

Bagaimanapun, lanjutnya, pemerintah juga harus menyikapi dan memperhatikan serta taat atau patuh kepada adanya peraturan MA 1/2016 tentang penyelesaian perkara secara musyawarah baik di dalam maupun luar pengadilan.

Tetapi, katanya lagi, hal ini tidak dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dalam hal ini Dinas PU Bina Marga dan Pematusan. Bahkan cenderung dari pihak kepala dinas ini mengarahkan ke upaya hukum seperti sudah dilkukan oleh penggugat dengan dalih supaya ada payung hukum untuk membayar ganti rugi.

“Padahal, payung hukum itu di negara hukum tidak harus melalui putusan hukum tetapi bisa melalui perdamian. Kekuatan perdamaian itu sesungguhnya adalah sama dengan putusan pengadilan. Namun, apa yang disampaikan oleh kepala dinas atau jajarannya, bahkan dengan surat jawaban wali kota, itu semua hanya sekadar membayar waktu, mengulur-ulur waktu saja,” kata Christiyan.