Menurut Nurul, untuk urusan bakti sosial, ibu-ibu di Golkar empaty itu nomor satu. “Jadi kalau ada apa-apa kami ini tidak bisaan gitu. Begitu juga ketika melihat tragedi Kanjuruhan,” kata dia.
Mengapa tiga tahun? karena disesuaikan dengan masa pendidikan. Karena latar belakang keadaan masing-masing keluarga itu berbeda. “Pokoknya yang jelas, yang kami pilih 38 orang itu memiliki masa depan yang memang berkait dengan jenjang pendidikan mereka,” tandas dia.
Dalam faktanya, memang ada yang sengaja tidak mengambil bantuan itu setiap bulannya, tetapi tiga tahun lagi baru diambil. Karena saat itu, orang tua tersebut akan sangat membutuhkan biaya masuk sekolah anaknya.
Contoh yang mencuat kemarin adalah dari Wiyono, ayah dari korban bernama Vera Puspita Ayu, salah satu korban Tragedi Kanjuruhan.
“Bantuan itu tidak akan saya ambil sekarang, tetapi saya siapkan untuk kuliah adiknya Vera nanti. Karena dulunya Vera yang akan membantu membiayai adiknya sekolah sampai kuliah,” ujar Wiyono dengan menangis. “Bantuan ini sangat bermanfaat buat keluarga kami,” tambahnya.
Wiyono tersentuh saat mengingat Vera Puspita Ayu adalah tulang punggung keluarga. Bahkan Vera yang sudah bekerja sebagai perawat itu selain bersiap akan menyekolahkan adiknya, juga akan melangsungkan pernikahan tahun depan.
Bagi Wiyono sumbangan Perempuan Golkar Bersatu ini luar biasa besarnya dan tidak ada yang peduli seperti ini terhadap korban Tragedi Kanjuruhan.
“Bukan nilai nominalnya yang sangat membantu melepaskan kebingungan kami atas tragedi Kanjuruhan ini, tetapi kepedulian ibu-ibu Perempuan Golkar Bersatu-lah yang membuat kami bahagia. Semoga ibu-ibu Perempuan Golkar Bersatu selalu diberi kesehatan dan diberi balasan yang berlebih dari Yang Maha Kuass serta terus memperhatikan kami-kami yang di bawah ini,” ujar Wiyono.
Sebelum berdialog dengan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan di Balai Rakyat Desa Sukodadi, Wagir, Kabupaten Malang, Nurul Arifin beserta Tim Monitoring DPP Perempuan Golkar Bersatu mengunjungi rumah keuarga korban. (SR/MIN)