Semar memiliki tugas membimbing untuk memiliki budi pekerti dan menjunjung tinggi kebenaran. Karena tugasnya, Semar juga disebut sebagai dewa bagong eng satrio sinamar mardadi kawulo atau dewa pengasuh kesatria yang menyamar sebagai hamba, seperti dikisahkan dalam kitab-kitab manikmaya anda dan paramayoga. Semar berasal dari alam kedewataan atau jagat para dewa.
Dalam naskah purwacarita dikisahkan Putra Sanghyang wenang yang bernama Sanghyang tunggal menikah dengan Dewi rekatawati, sepasang suami-istri tersebut melahirkan Putra berupa sebuah telur ajaib yang melesat ke hadapan kakeknya yaitu Sanghyang wenang.
Oleh sang kakek, telur ajaib tersebut disabda cipta menjadi tiga zat hidup yang bersifat dewa, bagian kulit dari telur yang keras menjadi sang Gaja Mantri atau Antaga, bagian putih telur menjadi sang Ismaya, dan bagian kuning telurnya menjadi sang Sane Maya.
Dalam sebuah sayembara, memakan gunung sang Gaja Mantri dan sang Ismaya kalah melawan sang Manikmaya, sehingga mereka berdua harus turun ke arcapada untuk menjadi pengasuh manusia-manusia keturunan sang manikmaya.
Di Arca pada, sang Gaja Mantri atau antaga beralih rupa dan nama menjadi togog yang mengasuh manusia-manusia yang bersifat serakah, sedangkan sang Ismaya beralih rupa dan nama menjadi Semar, yang menjadi pamong ksatria-ksatria berdarah biru yang bergelimang dengan wahyu.
Togog dikisahkan selalu gagal membujuk majikan untuk bersikap dan berbuat baik dan benar. Semar berhasil membimbing asuhannya ke arah perbuatan benar bijaksana dan luhur. Dalam pandangan aliran kepercayaan di Jawa, ada yang mengklibatkan ajaran-ajarannya kepada ketokohan Semar. dalam pengembaraan spiritual mencari tempat Sangkan Paraning Dumadi, sebagai orang Jawa secara spritual sempat bertemu dengan tokoh Semar.
Hal ini karena pengaruh mitologi dunia pewayangan yang cukup berpengaruh dalam menciptakan kerangka pemikiran mistis orang Jawa. Sisa-sisa faham animisme dan dinamisme juga sangat berpengaruh terhadap keyakinan ini sehingga muncul pemahaman Semar adalah nenek moyang orang Jawa purba, yang rohnya telah menjadi danyang yang mengawal kawasan pulau Jawa, dan seluruh nusantara berikut penghuninya sampai akhir zaman nanti.
Di daerah Magelang sejarah awal masuknya Agama Islam ke tanah Jawa juga tidak terlepas dari kisah legenda yang ada di tengah masyarakat daerah ini, yaitu peran ulama Syech Subakir, Syech Jumadil Kubro, Syech Maulana Maghribi dan kerabatnya yang bertemu dengan Ki Semar atau eyang Semar di puncak sebuah gunung.
Menurut riwayatnya, sebelum pusaka Kalima syadahadat ditanam di puncak Gunung Bala, Syech Subakir bermusyawarah dengan Kiai Semar di sebuah gunung, di puncak gunung inilah peti tempat menyimpan dan membawa pusaka Kalimat syahadat itu dibuka yang dalam bahasa Jawa berbunyi seperti ini: Peti ini di udar.
Tempat membuka peti itu kemudian dinamakan Gunung Tidar dari puncak Gunung Tidar inilah kemudian pusaka Kalimasada dibawa ke arah timur sejauh 17 kilo meter, yang ini tempat ini bernama Pakis dan diusung ke Puncak sebuah gunung untuk ditanam sebagai tumbal kanggo bangsa ala-ala atau tumbal untuk orang banyak.
Itulah sebabnya, tempat menanam tumbal ini sampai kini disebut Gunung Bala, penanaman pusaka kalimat syahadat di puncak gunung bala oleh Syekh Subakir dan kawan-kawannya bermakna sebagai penancapan kalimat syahadat di jantung tanah Jawa, sebagai tanda masuknya ajaran agama Islam bagi penghuni di tanah Jawa.
Makam petilasan Eyang Ismoyo jati di puncak Gunung Tidar berupa sebuah pusara yang di tengahnya berdiri tegak sebuah wujud keris setinggi 9, kira-kira dua meter, bilah keris pusaka ini dari bahan tembaga berwarna kuning emas yang dihiasi 9 buah bintang.
Nama-nama yang ada di puncak Gunung Tidar ini mempunyai makna yang tersamar, sebutan Eyang maknanya eling pondo sembahyang artinya ingat untuk melakukan shalat. Ismoyo maknanya ojo podo semoyo atau jangan menunda.
Sedangkan kata Jati artinya kabe ono jati dirimu, yang artinya semua ada pada jati dirimu. Sedangkan kata Semar maknanya adalah siro eling marang Allah dan Rasul artinya kamu Ingat kepada Allah dan Rasul.
Dipucuk Tugu Paser tanah Jawa yang berada di tengah lapangan di puncak Gunung Tidar, ada tulisan aksara Jawa tiga buah yaitu Sa atau So, ini maknanya sopo salah seleh, artinya barang siapa yang bersalah akhirnya akan ketahuan.
Juga bermakna sopo salat selamet, artinya siapa yang menegakkan sholat akan selamat. Selain versi tersebut. Begitu banyak versi-versi yang menyebutkan tentang sosok Eyang Semar. Dan Syaech Subakir dalam sejarah “Babat Tanah Jawa” masuknya ajaran agama Islam. Menanamkan ajaran akhlaq mulia atau moral yang baik dan tinggi. (Bbs/JT)