BANYUWANGI (Wartatransparansi.com) – Mafia tanah menjadi topik pembicaraan hangat beberapa pekan terakhir. Korban dari kejahatan ini tidak hanya masyarakat biasa saja, tetapi juga menyasar tokoh publik, Mafia tanah melakukan berbagai cara untuk menguasai tanah secara ilegal. Salah satu modus yang biasa dilakukan mafia tanah yaitu dengan memalsukan dokumen tanah resmi milik orang lain.
Dugaan adanya praktik mafia tanah terlihat jelas seperti yang dialami Fiftiya Aprialin warga Desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi. Dia beserta keluarganya merasa menjadi korban mafia tanah.
Bagaimana tidak, berawal dari hutang piutang ratusan juta, aset tanah warisan milik keluarga besar Fiftiya seluas 4,5 hektar dengan nilai Rp 6 Miliar, kini dikuasai orang lain. Nama kepemilikan sertifikat pun tiba-tiba berubah.
Budi Hariyanto S.H., kuasa hukum keluarga Fiftiya mengatakan, dugaan praktik mafia tanah yang menimpa kliennya tersebut bermula dari salah satu anggota keluarga bernama Sumarah, menggadaikan 5 sertifikat tanahnya kepada seseorang berinisial GS, pada tahun 2018 lalu.
“Tanpa sepengetahuan pemilik, sejumlah sertifikat tersebut diambil, kemudian menjadi hutang atau tanggungan pemilik sertifikat, sampai akhirnya permasalahan ini berujung gugatan di Pengadilan Agama Banyuwangi menghasilkan surat perjanjian perdamaian bersama tertanggal 29 Nopember 2018 yang harus membayar hutang piutang sebesar Rp. 958 juta selambat – lambatnya tanggal 29/1/2019 jika tidak dipenuhi tanah tersebut bisa dialihkan, ” kata Budi kepada wartawan, Rabu (8/6/2022).
Namun sayangnya, kata Budi, ketika keluarga kliennya telah membawakan uang pelunasan piutang sebelum batas waktu yang telah disepakati, GS ini malah diduga tidak memiliki itikad baik. Dia selalu tidak hadir, meski PA Banyuwangi telah memanggilnya beberapa kali.
“dugaan praktik mafia tanah inipun tampak terlihat ketika PA Banyuwangi menganggap uang pembayaran yang telah dibawa dalam proses perdamaian tidak ada, bahkan terkesan berat sebelah. Parahnya lagi, PA Banyuwangi juga menerbitkan surat perintah eksekusi,” Terangnya.
Keputusan Pengadilan Agama Banyuwangi pun dianggap janggal. Karena justru menghukum pada pihak yang beriktikad baik. Sementara GS, yang diduga tidak mematuhi surat perjanjian perdamaian justru dimenangkan.
“Kasus yang menimpa klien kami ini, termasuk praktik dugaan mafia tanah yang dibungkus dengan cara legal karena ada oknum (peradilan) tadi, Logikanya aset tanah senilai Rp. 6 Miliar hanya dibeli senilai hutang sebesar Rp. 958 Juta. Jika bukan permainan mafia tanah, terus apa?,” tegasnya.
Demi memperjuangkan hak tanah warisan yang kini telah dikuasai orang lain tersebut, Fiftiya sekeluarga berupaya mencari keadilan dengan mengadukan indikasi ketidakadilan PA Banyuwangi, kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selain itu, Keluarga Fiftiya juga melaporkan kasus ini ke Polisi dan mengajukan gugatan perdata lewat Pengadilan Negeri Banyuwangi.
Sementara Humas Pengadilan Agama Banyuwangi Zaenal Arifin, mengatakan bahwa ketidakpuasan salah satu pihak atas putusan suatu peradilan merupakan hal wajar.
” Bagi yang tidak puas atas putusan, bisa banding. Sedangkan yang tidak puas terhadap hakim atau panitera bisa bersurat ke Badan Pengawas MA.Semua ada jalurnya. Yang jelas Hakim dan Panitera sudah disumpah. Kalau untuk menanggapi suatu perkara bukan wewenang kami,” kata Zaenal kepada wartawan di kantornya, Kamis (9/6/2022).
Sementara itu, hingga saat ini wartatransparansi.com belum berhasil mengkonfirmasi GS. Meski telah dihubungi via Whatsapp maupun telepon seluler, pihak yang disebut telah merubah atas nama secara sepihak sejumlah seertifikat tanah warisan milik Fiftiya Aprialin sekeluarga, tidak menjawab.