Dari unsur PWI Pusat, Ketua Umum Akhmad Munir yang sedianya tampil sebagai salah satu pemateri, mendelegasikan kehadirannya kepada dua pengurus, yakni Zarman Syah (Sekolah Jurnalis Indonesia, SJI) dan Achmad Rizal (Humas).
Pada sesi akhir kegiatan, Zarman Syah tampil sebagai pemateri penutup dengan makalah berjudul “Jurnalisme Data dan Transformasi Komunikasi Publik di Era Digital.”
Ia menegaskan, tantangan terbesar komunikasi publik saat ini bukan sekadar kecepatan, melainkan keakuratan dan kejujuran data di tengah derasnya arus informasi.
“AI dan jurnalisme data membantu kita memilah fakta dari hoaks. Dengan data yang benar, komunikasi publik bukan menimbulkan kepanikan, tapi menumbuhkan kepercayaan,” jelasnya.
Menurut Zarman, prinsip jurnalisme data tidak hanya relevan bagi wartawan, tapi juga aparatur pemerintah dalam mengelola krisis informasi.
“Kita bisa belajar dari pers: setiap pernyataan publik harus diuji dengan data, disampaikan dengan empati, dan dijaga dengan integritas,” tambahnya.
Menambahkan pandangan dari sisi praktis, Humas PWI Pusat, Achmad Rizal, menyampaikan, komunikasi publik di lembaga pemerintah membutuhkan pemahaman literasi media.
Ia menilai kemampuan atas literasi jelas penting, agar petugas Lapas mampu menghadapi pemberitaan dan opini publik secara proporsional.
“Petugas Lapas sering menjadi garda depan menghadapi opini publik. Karena itu, literasi media bukan sekadar pelengkap, tapi kebutuhan,” kata Rizal.
Selain dari PWI, hadir pula narasumber dari organisasi pers nasional lain dan dosen komunikasi dari berbagai perguruan tinggi, yang menyorot pentingnya kerja sama lintas sektor dalam membangun sistem komunikasi publik yang tangguh.
Para akademisi menilai, Pasopati menjadi tonggak reformasi komunikasi lembaga publik di Indonesia – bukan hanya sebagai protokol krisis, tetapi juga sebagai model kolaborasi antara pemerintah dan pers.
“Krisis informasi hanya bisa diredam bila pemerintah dan media berbicara dengan bahasa yang sama: bahasa fakta,” kata salah satu akademisi yang hadir pada forum itu.
Refleksi dari Lapas Cipinang
Zarman Syah juga berpendapat, pengalaman berbicara di hadapan ratusan pejabat pemasyarakatan meninggalkan kesan mendalam.
Ia melihat perubahan paradigma bahwa lembaga pemerintah kini lebih terbuka terhadap masukan dari media dan akademisi.
“Kini pemerintah tak lagi menutup diri. Mereka belajar dari jurnalis dan kampus tentang bagaimana membangun kepercayaan publik lewat komunikasi yang terbuka,” katanya, usai acara.
Menurutnya pedoman Pasopati menjadi “angin segar” dalam reformasi komunikasi publik, karena memberi ruang bagi keterlibatan multiunsur dalam satu visi bersama, demi menjaga reputasi lembaga dengan data, empati, dan keterbukaan.
Humanis
Kegiatan yang berlangsung satu hari itu menjadi momentum penting bagi jajaran Kemenimpas dan seluruh UPT Pemasyarakatan di Indonesia dalam memperkuat sinergi lintas lembaga.
Kemenimipas berharap pedoman Pasopati menjadi pondasi baru bagi komunikasi publik pemerintah yang humanis, profesional, dan terpercaya.
“Krisis adalah ujian reputasi, dan reputasi hanya bisa dijaga dengan komunikasi yang jujur,” tutup Zarman Syah. (els/din)





