Selama ini, menurut Zainal, banyak persoalan agraria yang hanya berhenti di meja birokrasi.
“Kampus harus hadir untuk membuka simpul-simpul rumit itu,” tuturnya.
Karena itu, seminar ini digelar terbuka dan gratis, diikuti lurah, camat, birokrat, mahasiswa, hingga praktisi hukum.
“Kami tidak ingin tanah negara terus-menerus jadi sengketa. Lewat seminar ini, kami ingin memberi arah dan solusi yang bisa dipakai di lapangan,” ujar Zainal.
Hasil kajian dalam forum ini, masih kata Zainal akan dijadikan pedoman teknis, terutama bagi pemerintah desa dan kecamatan yang bersentuhan langsung dengan isu tanah bekas terlantar.
Ia juga menyoroti pentingnya dasar hukum dalam menyelesaikan sengketa tanah yang kerap kehilangan dokumen atau saksi sejarah.
“Jika bukti fisik dan saksi tidak ada, maka satu-satunya rujukan adalah norma hukum agraria. Kajian ilmiah sangat penting agar setiap langkah pengelolaan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral,” ucap Zainal.
Sejumlah pakar hukum agraria turut hadir sebagai pembicara, seperti Dr. Yagus Suyadi, mantan Kepala Biro Hukum BPN, Prof. Dr. Irawan Soerodjo, dan Dr. Nur Baedah. Mereka membedah dari sisi regulasi, praktik di lapangan, hingga strategi mencegah tumpang tindih klaim tanah negara.
“Tanah terlantar bukan sekadar data administratif, tapi realitas hukum yang menyentuh masyarakat paling bawah,” tutup Zainal.(*)